KARO – Kawasan Berastagi yang terletak di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, sudah cukup lama menjadi salah satu ikon wisata yang mengesankan. Pada umumnya, wisatawan mengunjungi kawasan ini karena pesona alamnya yang indah.
Namun tidak sedikit juga yang berhasil menemukan sisi lain Berastagi yang tidak mau kalah.
Di salah satu sisi jalan raya, sebuah bangunan berukuran 8×10 meter persegi siap mengajak siapapun yang masuk ke dalamnya menjelajahi masa lalu Karo.
Adalah Museum Pusaka Karo namanya. Diresmikan pada 2013 lalu, museum ini dikabarkan memiliki lebih dari 800 koleksi meskipun bangunannya terbilang sangat kecil.
Jika koleksi museum pada umumnya adalah milik pemerintah dan perorangan, Museum Pusaka Karo dapat dikatakan milik masyarakat Karo.
Hal ini dikarenakan koleksi yang menghuni museum adalah peninggalan masa lampau yang sebagian besarnya adalah pinjaman dari setidaknya 30 orang Karo.
Mereka berpikir, dibanding membiarkan barang peninggalan tersebut diam dan tidak terurus di rumah, akan lebih baik jika dipajang di museum.
Kurator museum dengan senang hati merawatnya dan akan ada banyak orang yang dapat belajar dari barang-barang tersebut.
Uniknya, barang-barang tersebut dapat diambil kembali oleh sang pemilik jika suatu waktu membutuhkannya.
Mengingat bangunan museum yang kecil, hanya ada 600 koleksi yang terpajang di sana.
Meskipun begitu, koleksi-koleksi tersebut tetap disusun rapi sehingga pengunjung dapat dengan melihat-lihat dengan nyaman.
Dahulu, bangunan Museum Pusaka Karo adalah Gereja Katolik Santa Maria.
Seorang pastor dari Belanda mencetuskan ide untuk menghibahkan bangunan guna merekam budaya daerah tempat tinggalnya selama 40 tahun ini.
Adapun penggagas sekaligus pendiri museum adalah Pastor Katolik Leo Joosten Egidius.
Selama puluhan tahun sebelum museum akhirnya resmi dibuka, pastor tersebut aktif mengumpulkan sejumlah koleksi yang berkaitan dengan Suku Karo.
Dilansir dari pariwisatasumut.net, koleksi Museum Pusaka Karo dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu koleksi teknologika (berhubungan dengan kelangsungan hidup), etnografika (berhubungan dengan kultur), arkeologi, dan filologika (karya sastra maupun linguistik dari zaman pra modernisasi).
Untuk dapat melihat-lihat koleksi tersebut, pengunjung tidak diharuskan membayar alias gratis.
Jika ingin tetap memberikan dana sesuai kemampuan, pengunjung dapat memberikannya sebagai sumbangan ke kotak yang tersedia di salah satu ruangan.
Dalam rangka mengelola museum, pengelola mengandalkan dana dari donatur yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia hingga bahkan dari luar negeri.
Pun begitu dengan para pengunjungnya, yang tidak hanya datang dari dalam negeri.
Data dalam buku tamu menunjukkan bahwa beberapa pengunjung datang jauh-jauh dari Malaysia bahkan hingga Belanda.
Tujuannya tidak lain adalah untuk menyaksikan peradaban Suku Karo dari sudut pandang masyarakatnya sendiri yang terekam dalam koleksi-koleksinya.
Seiring berjalannya waktu, Museum Pusaka Karo tidak hanya digunakan sebagai tempat wisata, namun juga tempat penelitian oleh sejumlah mahasiswa.