JAKARTA – Pemerintahan Joko Widodo membutuhkan sistem manajemen pertanian profesional bila ingin menghentikan gempuran buah dan sayuran impor. Pembangunan integrasi dan infrastruktur pertanian yang terencana dan rapi akan mendorong keberhasilan swasembada hortikultura dalam negeri bila digarap secara serius.
“Dimulai dari R&D untuk mendapatkan bibit unggul, lahan, pemeliharaan, dan cara panen yang tepat dibarengi dengan distribusi yang baik, Indonesia bisa swasembada,” ujar Penasehat Keuangan Ronawati Wongso dalam akun Linkedlnnya beberapa waktu lalu.
Pada waktu saya tinggal di Amerika, lanjutnya, apabila belanja di supermarket Asia, yang saya lihat banyak produk sayur dan buah seperti yang biasa kita makan di Indonesia adalah produk Thailand. Segala macam ada termasuk Pete.
Saya sering bertanya-tanya, mengapa ya Indonesia yang begitu subur dengan tanah yang luas tetapi kok produk sayur dan buahnya belum sampai di Luar Negeri sedangkan Thailand dengan luas yang lebih kecil bisa menguasai pasar.
Di Thailand, kata Rona lagi, untuk produk buah dan sayuran, Research dan Development (R&D) mendapat perhatian dan dilakukan oleh kerajaan. Kerajaan melakukan R&D untuk bibit unggul, setelah berhasil, diberikan kepada rakyatnya.
“Untuk Indonesia saat ini mungkin fokus dulu produksi untuk konsumsi dalam negeri sendiri, karena ini pun belum bisa tercapai,” jelasnya.
“Apakah Indonesia bisa? Pasti bisa kalau direncanakan dan diimplementasikan dengan baik infrastrukturnya,” ungkapnya.
Pengusaha Hortikultura Thailand Yang Bergelar Master Dan Doktor
Berbagai tanggapan muncul di akun Linkedln Rona. Salah satunya datang dari salah satu netijen bernama Sonny Marpaung. Dalam komentarnya, Sonny yang mengaku sebagai pebisnis di bidang florist ini mengatakan bahwa pengusaha tanaman hias di Thailand banyak bergelar master hingga doktor. Pengusaha tersebut sengaja menempuh pendidikan tinggi agar bisa mengembangkan produk tanaman dengan teknologi agar bernilai tinggi.
“Misalnya, thn 2000 an mrk mengembangkan tanaman pride of sumatra, yg dirumah saya hanya menjadi tanaman hias di Pagar rumah, menjadi varietas aglonema yang bernilai tinggi,” ungkap Sonny.
Tak hanya itu, Sonny juga mengatakan bahwa para master dan doktor asal Thailand juga mengembangkan beras yang bibitnya diambil dari Indonesia untuk dikembangkan menjadi beras premium.
“Yg pada akhirnya di indo hanya bisa dikonsumsi oleh orang2 itu. Contoh lainnya durian monthong,” ungkapnya.
Sonny menjelaskan lagi bahwa saat ini kontribusi tenaga profesional agribusiness di Indonesia masih sangat kurang. Salah satu yang menyebabkan minimnya ketertarikan masyarakat untuk mengembangkan usaha ini karena minimnya benefit yang didapatkan.
Jadi, lanjut Sonny, tak heran bila kebanyakan tamatan agribusiness dari universitas terkemuka di Tanah Air justru hanya berakhir bekerja di bidang perbankan saja.
Teknologi Pertanian Indonesia Rendah
Kekayaan alam Indonesia yang luar biasa besar ternyata tidak serta merta mendorong perbaikan di bidang pertanian. Yuli Setiawan, netijen lain yang berkomentar di Linkedln Rona menjelaskan bahwa negara-negara yang bertetangga dengan Indonesia sangat fokus dalam mengembangkan teknologi pertanian.
Keseriusan ini berimbas pada meningkatnya produk-produk pertanian yang sebelumnya tidak dilirik oleh petani. Misalnya pisang, penelitian pisang dimulai dari penemuan bibit terbaik, cara pembudidayaan, cara pemupukan, cara pengemasan, cara penjualan hingga cara mengendalikan hama penyakitnya membuat negara lain selalu maju selangkah dari pada Indonesia.
“Kalau itu semua tanya ke siapa?” ungkap Yuli.
Menurutnya, pemerintah seharusnya mendorong penerapan hasil riset pertanian langsung kepada petani. Selain itu Ia juga berharap infrastruktur pertanian juga didorong hingga ke pelosok pedesaan.