JAKARTA – Mangkunegoro VI adalah paket komplet seorang pemimpin baru: sederhana, piawai, dan berani. Dengan mempertimbangkan segala aspek kelebihan dan kelemahannya selama memerintah Praja Mangkunegaran.
Sikap dan pemikiran Mangkunegoro VI yang berani dan progresif dalam memimpin serta melakukan perubahan mendasar dalam urusan keuangan, fashion, aturan tata krama, gaya hidup di keraton, hingga multikulturalisme dan kebebasan ternyata mampu menginspirasi anak muda masa kini.
Ia sendiri mengenyam pendidikan di sekolah Belanda Europeesche Lagere School (ELS). Hal unik lain adalah sikap stoik Mangkunegoro VI dalam mengurus keuangan Praja dan kelihaiannya dalam berbisnis serta keberhasilannya di bidang ekonomi.
Aspek revolusioner dalam diri Mangkunegoro VI semakin terlihat ketika ia memilih untuk mengundurkan diri dan banting setir menjadi pedagang. Pilihan mengundurkan diri pada masa itu masih merupakan konsep yang tidak umum nyaris unthinkable, bagi seorang yang dianggap pemegang kekuasaan yang diamanatkan oleh Tuhan.
Ia paham harga dirinya, memegang teguh kedisiplinan dan konsekuen serta persisten untuk mencapai segala yang telah direncanakan. Kemandirian dan jiwa merdeka Mangkunegoro VI membuatnya tidak merasa berat turun tahta atas kemauannya sendiri.
Pengunduran diri tersebut tidak hanya menunjukkan bagaimana hubungan pemerintah kolonial dan penguasa lokal yang subordinatif di akhir masa abad ke-19 dan awal abad ke-20, namun juga bentuk political awareness Mangkunegoro VI sebagai sosok yang modern dalam membaca konteks perubahan awal abad ke-20, di mana pemerintah kolonial Belanda benar-benar menguasai hampir seluruh aspek peri kehidupan di tanah jajahan.
Berbekal pengalamannya yang kaya selama mengurus pabrik gula paling modern di Jawa masa itu, Ia dengan begitu percaya diri beralih profesi menjadi pedagang. Dalam konteks era tersebut, Mangkunegoro VI menolak segala bentuk sistem kolonial dengan cara walk out, keluar total dari keadaan macam demikian dan bergabung dengan komunitas baru di Kota Surabaya yang lebih progresif, dimana selanjutnya putra dan menantunya melanjutkan konsep tata negara yang tidak dapat dilaksanakan melalui sebuah Kadipaten.
Pasarean Keluarga (Makam) Astana Oetara adalah rumah peristirahatan terakhir Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Mangkunegoro VI (1896-1916) dan keturunannya, beserta pegawai Mangkunegaran yang dianggap memiliki jasa besar pada era kepimimpinan KGPAA Mangkunegoro VI.
Keberadaan makam Astana Oetara memiliki keunikannya sendiri, dengan desain arsitektur bergaya paduan arsitektur Jawa dan Eropa (Art Nouveau), yang membedakan makam ini dengan Makam raja-raja Mangkunegaran lainnya karena lokasinya yang berada di tengah kota.
KGPAA Mangkunegoro VI memilih lokasi Nayu sebagai tempat peristirahatan terakhirnya, dengan alasan agar lebih dekat dengan rakyat. Soekarno yang di kemudian hari menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia adalah arsitek Astana.
Astana Oetara memiliki empat bangunan utama yaitu: Kedaton Makam KGPAA Mangkunegoro VI, Pendopo Pantjasila Ing Handayaningratan, Masjid Astana Oetara dan Galeri. Pendopo Pantjasila Ing Handayaningratan saat ini menjadi lokasi berbagai kegiatan publik dalam bidang kesenian dan budaya dan keagamaan, antara lain: Kegiatan budaya Laras Madyo, Macopatan, Diskusi kebudayaan, Kegiatan ibadah dan Festival Grebeg Astana Oetara.
Dengan mempertimbangan sejarah dan budayanya yang bernilai tinggi, maka pada tanggal 21 Mei 2021, Pemerintah Kota Surakarta menetapkan Astana Oetara sebagai Cagar Budaya, melalui Surat Keputusan Walikota Surakarta nomor 432.22/50.1 Tahun 2021, Oetara.