19.1 C
Indonesia

Malaysia Wajibkan Platform Media Sosial Harus Punya Lisensi, Pengamat Curiga Ada Motif Politik

Must read

KUALA LUMPUR – Di tengah upaya Malaysia memperketat peraturan bagi perusahaan media sosial dan raksasa teknologi, para pengamat mengatakan pemerintahan Perdana Menteri Anwar Ibrahim dihadapkan pada pertanyaan yang sulit.

Menurut pengamat, alasan pemerintahan Anwar meregulasi medsos memang terdengar bisa diterima, namun ada potensi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa di dalamnya. 

Channel News Asia (CNA) pada Rabu (13/8) melaporkan bila upaya pengekangan kebebasan berbicara dan mengkritik pemerintah sulit diabaikan, kata pengamat, apalagi jika melihat rekam jejak Malaysia yang kerap meminta penghapusan postingan di medsos.

Baca Juga:

Pemerintah Malaysia sebelumnya telah mengatakan keputusan mereka semata bertujuan mengatasi bahaya di dunia maya, seperti penyebaran berita palsu, penipuan dan kejahatan seksual. 

Namun pengamat mensinyalir ada motivasi politik di balik keputusan tersebut, mengingat keberhasilan partai-partai Malaysia memanfaatkan medsos untuk mendulang suara pada pemilu.

Apa pun alasannya, pengamat mengatakan platform medsos tetap akan mematuhi peraturan itu walau dengan berat hati demi tidak kehilangan pasar di Malaysia. 

Perlawanan nantinya malah bisa jadi akan datang dari para penggunanya, kata pengamat.

Menurut DataReportal, ada 28,68 juta pengguna medsos di Malaysia per Januari 2024, mencakup 83,1 persen dari total populasi negara itu.

Beberapa bulan terakhir hubungan antara pemerintah Malaysia dan platform medsos memang tengah tegang. 

Salah satunya disebabkan oleh kemarahan pemerintah Putrajaya setelah Meta mencopot postingan Anwar soal kematian pemimpin Hamas, disusul oleh ancaman Malaysia akan membuat aplikasi medsos sendiri.

Bunuh dirinya seorang TikToker Malaysia karena cyberbullying pada 5 Juli lalu juga mendorong pemerintah Malaysia menerapkan kebijakan baru, alasannya demi menjaga internet tetap aman bagi keluarga dan anak-anak.

Pada 27 Juli lalu, Malaysia mengatakan akan mewajibkan medsos dan platform berbagi pesan internet dengan sedikitnya delapan juta pengguna punya lisensi pada 2025 atau mendapatkan penalti. 

Kebijakan ini menuai kritikan dari publik yang menganggapnya sebagai sarana pengekangan kebebasan berbicara dan mengkritik pemerintah.

Keesokan harinya seperti dikutip Bernama, Menteri Kehakiman Malaysia Azalina Othman Said mengatakan bahwa pemerintah pada Oktober mendatang akan menerapkan peraturan baru soal “kill switch” yang akan memaksa medsos dan platform berbagi pesan internet turut bertanggung jawab mengatasi kejahatan online.

Berbagai kebijakan ini adalah bagian dari perluasan Undang-Undang Multimedia dan Komunikasi Malaysia, serta menjadi bagian pembuka dari Undang-Undang Keselamatan Online. 

Para kritikus khawatir, berbagai kebijakan ini akan semakin memberangus aspirasi.

PERMINTAAN TURUNKAN KONTEN

Pada Juni lalu, TikTok dan Meta – operator Facebook dan Instagram – mengeluarkan laporan transparansi yang menunjukkan adanya permintaan sensor selama tahun pertama pemerintahan Anwar Ibrahim, terutama di paruh kedua.

Pada paruh kedua 2023, TikTok melaporkan menerima 1.862 permintaan turunkan konten dari pemerintah Malaysia, terbanyak di seluruh dunia. 

Angka ini jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan hanya 55 permintaan pada paruh kedua 2022.

Anwar menjadi PM setelah memenangi Pemilihan Umum ke-15 (GE15) pada November 2022 lalu.

Meta juga melaporkan bahwa mereka telah membatasi akses ke lebih dari 4.700 item di Malaysia pada paruh kedua 2023. 

Pada periode yang sama setahun sebelumnya, hanya ada 500 item yang ditutup aksesnya.

Pembatasan item-item ini, kata Meta, dilakukan atas pelaporan dari Komisi Multimedia dan Komunikasi Malaysia (MCMC). 

Termasuk item yang dilarang adalah konten yang mengandung judi ilegal, penipuan, ujaran kebencian berdasarkan agama, konten rasialisme, dan kritikan terhadpa pemerintah.

Kritikus mengatakan, permintaan itu bertujuan untuk membungkam kritikan dan suara-suara oposisi politik. 

Namun tuduhan itu dibantah pemerintah Malaysia yang berdalih mereka hanya ingin mencegah munculnya postingan yang menyinggung isu-isu sensitif, seperti ras, agama dan kerajaan.

Pengamat politik independen Malaysia, Asrul Hadi Abdullah Sani, mengatakan meningkatnya jumlah item yang diturunkan di medsos bertolak belakang dengan janji koalisi Anwar, Pakatan Harapan (PH), tentang reformasi dan kebebasan berekspresi saat kampanye GE15.

“Ini bisa dilihat sebagai kemunafikan, karena tindakan PH mirip dengan pemerintahan Barisan Nasional (BN) yang sebelumnya mereka kritik,” kata dia kepada CNA. 

Saat memerintah Malaysia, BN kerap dinilai menggunakan UU untuk membredel koran dan membungkam aktivis serta politisi yang dianggap musuh.

“Meningkatkan kendali atas media sosial bisa dipandang sebagai respons dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan narasi politik. Para pemimpin PH salah besar jika mengira bisa mendapat dukungan masyarakat dengan melakukan sensor.”

Kendati demikian, Asrul Hadi memang mengakui adanya alasan yang bisa dibenarkan dari langkah pemerintah itu, yaitu meningkatnya ancaman keamanan internet. Saat ini di platform medsos, kata dia, terus merebak konten-konten radikalisasi, ujaran kebencian dan pornografi.

“Namun, daripada menerapkan regulasi ketat, pemerintah seharusnya bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan ini untuk mengatasi masalah, memanfaatkan mekanisme keamanan online yang sudah ada di platform-platform tersebut,” kata dia.

“Rencana dan upaya pemerintah meregulasi media sosial terlihat memiliki motif politik, terutama jika kita melihat keberhasilan oposisi dalam menggunakan platform seperti TikTok untuk memenangkan dukungan pada pemilu sebelumnya.”

Pada GE15, terlihat perubahan dukungan yang besar terhadap koalisi oposisi Perikatan Nasional (PN). Para pengamat mengatakan, kemenangan PN adalah berkat “green wave”, yaitu menggunakan propaganda media sosial dan karena hilangnya kepercayaan rakyat terhadap BN.

Dalam enam pemilihan umum negara bagian pada Agustus 2023, pemerintahan Anwar juga mengalami kemerosotan. Kubu oposisi menuai banyak dukungan di daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai koalisi pemerintahan.

Tapi saat ini posisi politik Anwar sepertinya sudah aman, terutama setelah enam anggota parlemen oposisi menyatakan pindah dukungan ke pemerintah dengan imbalan alokasi konstituen tanpa perlu angkat kaki dari parlemen.

Malaysia akan mengadakan pemilihan umum lagi pada Februari 2028, dan Anwar masih akan diusung partainya untuk menjadi perdana menteri.

MEMBUNGKAM KRITIK

Praba Ganesan, kepala eksekutif di organisasi KUASA, mengatakan kewajiban lisensi bagi medsos bisa dilihat sebagai cara Kabinet Persatuan Anwar untuk membentengi petahana dari “cibiran” di dunia maya.

“Tentu saja, Pakatan-BN ingin membungkam media sosial PN jika oposisi terlalu unggul pada musim pemilu,” tulis Ganesan dalam tulisan opininya di Malay Mail pada 1 Agustus lalu.

Ganesan mengatakan pemerintah di negara mana pun tidak ada yang akan mengabaikan peran media sosial dan kewajiban meregulasinya. Namun, kata Ganesan, pemerintah juga bisa melakukan sensor medsos untuk “melindungi kekuasaan mereka.”

“Upaya Malaysia bukan hal yang unik, tapi tetap mengkhawatirkan. Terutama ketika kata-kata seperti ‘kill switch’ disematkan,” kata dia.

Pada 1 Agustus lalu, MCMC memberikan paparan yang lebih jelas mengenai lisensi kelas bagi platform media sosial, sembari menekankan bahwa peraturan ini penting di tengah meningkatnya kejahatan di internet dalam beberapa tahun terakhir.

MCMC mengatakan bahwa lisensi kelas ini merupakan lisensi yang sudah ada sebelumnya, namun belum diwajibkan bagi platform media sosial. 

Pemegang lisensi diminta wajib memiliki “kebijakan yang tegas” terkait bahaya online dan mematuhi arahan MCMC yang dikeluarkan di bawah Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia atau undang-undang turunannya.

Peraturan ini berlaku untuk medsos dan aplikasi berbagi pesan yang memiliki pengguna paling tidak delapan juta orang di Malaysia. 

Tidak memiliki lisensi ini terancam penjara hingga lima tahun dan denda maksimal RM500.000 (Rp1,7 miliar). Operator juga diancam denda RM1.000 (Rp3,5 juta) untuk setiap hari mereka tidak memiliki lisensi.

MCMC mengatakan bahwa peraturan ini tidak akan dikeluarkan secara sepihak dan harus berdasarkan hukum yang berlaku. 

Pihak-pihak lain, kata MCMC, akan diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat mereka sebelum peraturan diberlakukan. Mereka yang keberatan juga bisa menggugatnya ke pengadilan untuk menjalani uji materi.

Namun menurut Ganesan, masih ada pertanyaan yang menggantung: “Jika platform gagal mendapatkan lisensi, apakah mereka dilarang beroperasi di Malaysia?”

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru