23.4 C
Indonesia

Ini Lho Konsep Tari Bedhayan Khusus Laki-Laki Yang Akan Dipentaskan Oleh Bai Populo Akhir Tahun Ini

Must read

YOGYAKARTA – Khazanah Tari Bedhayan kini semakin modern dan dinamis. Di jaman dahulu, tarian klasik khas Keraton ini hanya bisa ditarikan oleh perempuan yang masih perawan saja.

Namun di tahun 2022 ini, tepatnya tanggal 30 Desember nanti, seorang desainer yang telah mendunia bernama Bai Populo melalui sanggar yang ia kelola sendiri berhasil menciptakan sebuah tari genre bedhayan yang ditarikan oleh laki-laki. 

Redaksi The Editor berkesempatan melihat proses latihan para penari istimewa ini di awal Desember lalu. Tak tanggung-tanggung, Bai Populo merekrut sejumlah penari yang berasal langsung dari istana keraton Yogyakarta seperti Lantip Kuswaladaya beserta dengan kedua anaknya yaitu Jivan Aruna (Jojo) dan Mohan Kalandara (Momo). 

Bai Populo memilih seorang budayawan sekaligus penari bernama I Made Christian Wiranata Rediana untuk menyusun tema dan arti dari tari bedhayan khusus pria ini.

Penasaran bukan? Simak cuplikan wawancara The Editor di bawah ini!

Apa judul dan tema tari bedhayan yang akan dipentaskan khusus oleh pria di sanggar milik Bai Populo nanti?

I Made Christian Wiranata Rediana: Judulnya Bedhayan Asthadikpalaka. Disebutnya memang bedhayan, karena kalau dikatakan sebagai bedhaya itu legitimasinya istana–punya indikator khusus seperti kostum, penyajian secara fisik, dan gendingnya. Akan tetapi, ada kemerdekaan di dunia seni pertunjukan, membuat anti struktur pergelaran untuk membuat suatu alternatif. Jadi ada suatu keterbukaan bagi siapa saja untuk menciptakan karya seperti bedhaya dan sebutannya sebagai bedhayan.

Asthadikpalaka sendiri berawal dari bincang-bincang dengan Mas Bai, awal-awal tahun 2022. Beliau punya kersa ‘kehendak’, dalam arti ingin menciptakan seperti tari bedhayan tapi tidak ala-ala aristokrat dan juga Mas Bai menghendaki penari yang merujuk jumlah penari selain angka 9 atau 7. Akhirnya dicari beberapa kemungkinan dan kami sepakat menciptakan tari bedhayan dengan 8 penari.

Tapi ternyata bedhaya dengan 8 penari itu sudah ada sebelumnya,  Bedhaya era Paku Alam Ke-8 yang bernama Bedhaya Renyep. Jadi Kanjeng Gusti Paku Alam ke-8 pernah menciptakan bedhaya dengan 8 penari putri–dan ini termasuk karya yang monumental, karena biasanya bedhaya yang ada di Pakualaman itu ditarikan oleh 7 penari. Kemudian disesuaikan dengan temanya yakni ajaran Asthabrata dan kebetulan Beliau adalah raja Pakualaman yang jumeneng ‘bertakhta’ ke-8.  Mas Bai menghendaki jumlah penari asalkan tidak berjumlah 9. Karena itu kita perlu masih ada sikap ’empan papan’ dengan kepentingan kraton yang selalu menggunakan 9 penari untuk tari bedhaya. 

Jadi sebetulnya sekarang perhitungan angka dalam bedhaya itu bukan suatu pertimbangan yang mutlak. Bahkan di luar kraton pernah ada yang pernah menciptakan bedhaya 2 rakit, jadi yang menarikan ada 18 penari. Karya istrinya Romo Sas, Ibu Siti Sutiyah Sasmito Murti. 

Saya sendiri juga berpikir, kira-kira apakah ada konsep yang bisa merepresentasikan angka 8 itu? Dan, ini cerita lucu, jadi saya kadang dapat inspirasi ketika jalan-jalan naik motor. Lalu, ketika jalan ke kantor, saya teringat satu konsep Hindu. Namanya konsep Pengideran Dewata–Perputaran Dewata dalam rangka melindungi dunia. Dan ternyata ada 8 dewa di dalamnya. Ini termasuk konsep yang paling kuno di antara konsep-konsep yang ada sekarang, itulah Asthadikpalaka. 

 Astha artinya 8, bahkan di Jawa juga dikenal kata ini. Dik itu artinya dewa, Palaka ini artinya Penjaga. Jadi 8 Dewa Penjuru Mata Angin. Ini termasuk konsep kuno, dan yang berada di tengah bukan Dewa Siwa, tapi justru Dewa Brahma sebagai Dewa Pencipta. Mas Bai sepakat dengan konsep ini. Konsep ini hampir punah, namun ada sejak dulu dan dilestarikan dalam relief Candi Prambanan.

Semisal ada yang mempertanyakan apakah tradisi ini masih hidup, jawabannya masih, tapi secara artefaktual di Candi Siwa Prambanan. Asthadikpalaka ada 8 dewa inti, dan Mas Bai besok saat menari jadi pemimpinnya Asthadikpalaka, namanya Bathara Indra.

Ada 7 lainnya, yaitu Bathara Bayu, Bathara Baruna, Bathara Niritti, Bathara Isana, Bathara Agni, Batara Kuwera dan Bathara Yama. Masing-masing Dewa menempati daerahnya sendiri. Seperti Bathara Indra yang ada di sisi timur.

Kalau kita lihat di relief Prambanan, dewa itu tidak berdiri sendiri, tapi punya seorang pengiringnya, namanya digajja. Contohnya seperti di babak terakhir pertunjukan kemarin, itu saya mencoba menstilisasi konsep Dewa Indra dan digajja yang saling berperan.

Kalau secara wantah, konsep Asthadikpalaka memang seperti itu. Dulunya konsep ini digunakan untuk membangun rumah di India. Kalau di Jawa, masih digunakan untuk membangun rumah ibadah. Contohnya lestari di candi-candi.

Kalau secara substansi, tiap orang yang memprakarsai punya pemaknaan sendiri. Yang saya tangkap sendiri dari Asthadikpalaka ini, ada mantra dalam Hindu yang sangat relevan, mantranya:  Om anobadhrah kratavo yantu visvatah ‘semoga kebaikan dan inspirasi datang dari segala penjuru.’

Lantief Kusuma Wardhana (Lantip Kuswaladaya) merupakan seorang penari yang sudah puluhan tahun mengabdi khusus untuk Keraton Yogyakarta (Foto: Hartaty Br Sembiring/ THE EDITOR)

Karena, setiap arah mata angin pasti punya suatu daya, ada daya penyembuhan, daya sebagai pembasmi, daya untuk memimpin, daya untuk memberikan napas–masing-masing dewa memberikan karakteristik itu.

Di lain hal, Mas Bai menghendaki bahwa ini berkaitan dengan penciptaan suatu fashion–karena memang beliau latar belakangnya fashion. Jadi inspirasi itu bukan kacamata kuda, tapi bisa dilihat dari berbagai aspek. Itu di mana pun, kita temukan jati diri kita di berbagai tempat.

Kebetulan, Brahma ini ada di tengah dan menjadi poros, maka intensi yang diharapkan adalah suatu penciptaan, kalau di Jawa itu  karsa. Seiring menciptakan fashion, atau menciptakan ide, daya dari Brahma dan Saraswati yang beroperasi.

Di lain hal, kami mencoba merumuskan bedhayan ini ke dalam 3 babak. Pertama, prolog, Siapakah Asthadikpalaka. Maka dari itu modelnya identik dengan berputar siklikal. Empat di tengah yang alus ini menjadi Asthadikpalaka yang utama, namanya Catwari Lokapala. Sementara itu, di arah mata angin yang lain adalah Asthadikpalaka yang sifatnya sekunder.

Penciptaan ini selalu identik dengan perputaran yang bisa dilihat dalam banyak hal. Seperti perputaran ekonomi, bahkan bumi juga berputar.

Ketika Catwari Lokapala membuka, kami terinspirasi dari bentuk bunga tunjung yang mekar, jadi ada sesi pembukaan. Bahwa karya ini telah dimulai untuk memberikan suatu petuah.

Di babak kedua, kami masih melanjutkan filosofi penciptaan, yaitu mulai ada suatu pergolakan rasional dan rasa. Di Hindu, konsep ini namanya rwa bhineda, yaitu bukan berarti kita harus menentang sesuatu yang jelek atau buruk, karena manusia juga ada sifat itu, tinggal mana yang kuat saja.

Di Hindu, saya kira konsep ini juga berlaku di kepercayaan mana pun, ketika kita ingin mendapatkan intisari kehidupan, kita selalu mendapat pergolakan. Tapi ini tidak untuk direnungkan secara dalam, melainkan secara bertahap.

Misalnya kita mendapat pergolakan rasa yang berkata jangan seperti itu, dari situ akan muncul suatu kesadaran tentang bagaimana harus bersikap.  Rasa dan pikiran itu berjalan beriringan.

Kadang kalau menciptakan sesuatu terlalu rasional, akan terlalu kaku dan sifatnya nantinya akan hitam dan putih.

Bai Populo: Itu saya setuju, karena kalau saya pribadi, saya tidak banyak tanya kalau sedang bergejolak dalam diri. Kalau bisa, saya tanggulangi itu sendiri, jadi ada dua Bai di dalam diri. Keduanya saling mengingatkan mana yang baik buruk. Jadi saya bilang ke diri sendiri bahwa saya kuat dan serahkan sisanya ke Allah.

I Made Christian Wiranata Rediana: Maka dari itu,karsa ‘kehendak’ dari Mas Bai, misalnya ada satu sesi yang merepresentasikan suatu pergolakan tapi melalui gerakan perang.

Bai Populo: Baik-buruk di dalam diri kita sedang berperang. Kalau yang buruknya lebih kenceng, dia akan menjadi negatif. Ada juga yang setengah-setengah. Karena saya, jujur lebih sering curhat ke diri saya sendiri dan ke Tuhan, jadi saya lebih banyak melihat teman-teman, lingkungan, pengalaman hidup saya, dan itu semua yang membuat saya masih menjejak lah. Karena kalau kita sering curhat ke orang, kita harus hati-hati juga. Saya pernah curhat ke orang, tapi itu jadi senjata buat nyerang saya. Kalau kita memperlihatkan sisi lemah ke orang, kita akan sering diinjak sama orang.

I Made Christian Wiranata Rediana: Babak yang ketiga, dulu kami itu pusing. Tapi saya akhirnya tersadarkan bahwa Asthadikpalaka ini tidak berdiri sendiri, melainkan ada sosok-sosok digajja, yaitu pengiring Dewa yang punya simbol. Karena kebetulan yang kami jadikan patron adalah Dewa Indra, kemudian ditunjukkanlah Indra dalam dua bentuk.

Ada Indra dalam representasi zenit dan Indra dalam representasi yang bawah. Maka dari itu, dua penari yang ada di atas dan bawah adalah sesama Indra tapi dengan dua personality, yang artinya melambung tinggi namun juga membumi.

Kami besok mencoba merepresentasikannya Indra sedalam narasi triwikrama–berada di fase puncak. Triwikrama Dewa Indra punya mata seribu, yang artinya bisa melihat segalanya dalam berbagai aspek.

Bai Populo: Jadi saya sudah nggak fokus lagi dengan omongan orang. Karena, dengan usia saya yang sudah 60 tahun ini, mungkin buat yang lain hidup saya nggak ada artinya, tapi buat saya Tuhan kasih banyak sekali berkah di hidup saya. Saya melihat banyak sisi kehidupan, dengan tinggal di luar negeri, tinggal di sini, itu kan 180 derajat. Perbedaan sifat manusia, budaya, musik. Punya banyak pengalaman, punya banyak teman baik, saya punya kepuasan saya sendiri. Saya tidak lagi peduli dengan omongan orang.

Bertemu Mas Lantip, Mas Redian, itu berkah buat saya. Bertemu sahabat-sahabat di sana yang bisa bantu memperluas networking ke orang-orang berpengaruh, itu juga berkah. Lewat tari ini filosofi itu dikeluarkan. Mas Redian bisa merepresentasikan hidup saya. Tuhan sudah kasih banyak hal. Saya punya banyak komunitas. Di usia ini, saya fokus untuk kebaikan saja. Nggak terlalu ngoyo dalam berbisnis, namun tetap memikirkan finansial karena itu yang menjadikan kita independen dan berbuat banyak hal.

Apakah konsep dan tema tarian ini disesuaikan dengan kepribadian seorang Bai Populo yang tenang?

I Made Christian Wiranata Rediana seorang budayawan sekaligus koreografi Tari Bedhayan khusus laki-laki (Foto: Hartaty Br Sembiring/ THE EDITOR)

I Made Christian Wiranata Rediana: Kalau sebelum saya menunjukkan konsep ini, saya udah buat list ada wacana mengenai Bedhayan Asthadikpalaka, dan mengapa Mas Bai yang cocok memerankan ini, di samping beliau adalah seorang pemimpin, beliau juga seorang pemimpin yang pujangga. Dan tokoh Indra menitikberatkan aspek itu, cocok juga dengan beliau yang seorang fashion designer.

Bai Populo: Lucunya lagi, kalau di wayang itu saya sering jadi Puntadewa–itu kan berkaitan dengan takhta Dewa Indra juga. Mungkin dari unggah-ungguh saya kelihatan ya. Makin ke sini saya juga belajar, berbuat baik ke semua, nanti orang tujuannya ke mana, akhirnya gimana, saya nggak papa. Saya nggak pernah ragu-ragu ketika menerima kesulitan, maju aja, bring it on, ada universe yang backing saya.

Sebelum sesuatu terjadi, saya bisa merasakannya gitu. Awalnya mungkin memang sering ragu, tapi nanti mendekati hari H ada kekuatan yang bilang, Bai, it’s okay. Dan keberuntungan-keberuntungan itu banyak sekali. Salah satunya UNIQLO ini, padahal desainer batik itu banyak banget loh. Jadi mungkin saya bikin jalan saya sendiri, dan universe dan Tuhan merestuinya.

Durasi tarian ini kabarnya hanya 20 menitan saja. Padahal tari bedhayan yang asli biasanya membutuhkan waktu berjam-jam untuk ditarikan. Bagaimana cara anda mengubah aturan yang sudah berlangsung selama ratusan tahun ini?

I Made Christian Wiranata Rediana: Kalau pengurangan itu tergantung pada gending. Sebenarnya, saat peperangan, gendingnya tidak selembut itu, tetap menggunakan ketawang tapi irama siji, irama yang lebih cepat. Musiknya belum fix kemarin.

Ini karya baru. Jadi tidak menggunakan gending yang sudah ada. Seingat saya menggunakan laras slendro. Karena bedhaya pada zaman-zaman dahulu yang identiknya ritual itu dengan slendro. Ada mantra-mantra yang dimanfaatkan untuk karya gending ini. Mantranya untuk 8 dewa ini.

Berapa tarian yang akan dipentaskan pada akhir tahun nanti?

Bai Populo: Jadi ulang tahun saya yang ke-60 ini, malam pertama itu 30 Desember adalah cultural dinner, itu saya undang teman-teman dekat dan kerabat bisnis. Dinner sambil menikmati tarian wayang, cerita pandji (tari topeng), ditutup dengan tarian kita. Yang pentas pertama dua wanita tari perang, cerita pandji zaman kediri–pandji asmorobangun pakai topeng ditarikan oleh cucu-cucu sultan.

Banggak nggak mas diminta oleh Mas Bai untuk menciptakan karya seni baru, pertama di Indonesia dan dunia?

I Made Christian Wiranata Rediana: Pasti bangga lah ya. Dalam arti, ini pertama kali saya dan Pak Lantip menyuguhkan konsep kepada seorang yang bisa saya katakan, famous. Biasanya idealis menciptakan untuk diri sendiri.

Secara pribadi, suatu kehormatan. Kadang orang yang suka seni di kalangan muda, kadang disangsikan oleh komunitasnya sendiri: kamu tuh bukan ranahnya.

Bai Populo: Justru saya senang sekali karena dipertemukan Mas Redian yang di usia muda ini filosofi Jawa nya ngena–yang saya nggak punya background-nya. Kalau di fashion dia mungkin sudah setaraf saya. Untungnya fashion lebih terekspos daripada hal-hal saintis seperti ini, nah saya pengen ini lebih dihargai, Mas Redian, Mas Lantip, dan lain-lainnya. Ketika dua bidang dijadikan satu maka bisa menjadi lebih pecah.

Bisakah diceritakan apa pendapat Mas Bai Populo saat pertama kali mendengar konsep ini dijelaskan oleh I Made Christian Wiranata Rediana?

Bai Populo: Kalau dengan filosofi Jawa, saya selalu menempatkan diri sebagai yang nggak tau apa-apa dan bersifat menerima, karena saya percaya bahwa hal ini nggak kalah penting dengan sains. Jawa itu filosofinya lebih lama dari, maaf, agama Islam. Kalau orang bilang itu nggak bagus, karena mirip dengan syirik, saya bilang nggak. Saya sering lihat bagaimana jadinya dunia, saya baca Quran, saya belajar… saya liat dokumenter-dokumenter bagaimana jadinya dunia, bagaimana manusia, seperti Asthadikpalaka, melihat ke banyak hal. Jadi bisa menempatkan diri.

Berarti dengan dipentaskannya tarian ini jadi bukti sejarah yang baru ya?

Bai Populo: Mudah-mudahan, itu yang saya mau. Karena kalau di fashion kan saya udah dikenal sebagai desainer batik, saya juga mau dikenal sebagai desainer yang buat hal seperti ini. Pesan saya, Mas Redian dan Mas Lantip siap-siap aja di-approach orang. Bukannya sombong, saya soalnya jago di-scouting, menimbulkan orang-orang baru di tiap bidang yang berhubungan dengan karya saya.

I Made Christian Wiranata Rediana: Kecenderungan di sebelumnya ada Iwan Tirta, yang menurut saya bentuknya menggunakan yang sudah ada, tapi nilai plusnya karya batik yang rumit. Bentuk pengkarya nya lebih banyak yang aristokrat. Bedanya dengan Mas Bai, beliau membuat neo-Bedhayan, baik dari segi fashion atau dari segi pemahaman. Saya melihat ada suatu celah, di mana selama ini bedhayan cuma menjelaskan narasi historis atau suatu itihasa atau epos, tapi tidak menutup kemungkinan bedhayan ini mengambil suatu konsep yang diejawantahkan dalam bentuk sajian tari. Itu jarang terjadi. Jadi Mas Bai itu salah satu pionir yang lebih mengutamakan konsep yang diutarakan dalam tari.

Bai Populo: Ya itu, memang, dari kecil saya mau jadi sesuatu yang lain. Tapi itu bukan berarti sesuatu yang tidak bisa dijangkau orang, semua orang masih harus bisa menikmati karya saya. Saya memang ada darah aristokrat, tapi kalau mau menjunjung itu tinggi-tinggi, udah bukan zamannya. Di atas langit masih ada langit.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Artikel Baru