23.6 C
Indonesia

Fenomena Varian Baru Bemisia Tabaci, Kutu Kebul Yang Lebih Ganas

Must read

JAKARTA – Fenomena munculnya varian baru pada suatu organisme tidak hanya terjadi pada dunia kesehatan manusia, pada bidang perlindungan tanaman pun terjadi.

Tidak sedikit organisme pengganggu tumbuhan (OPT) mengalami peningkatan virulensi akibat “mutasi gen”. Lantas seperti apakah fenomena tersebut terjadi?

Setiap organisme selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya untuk mencapai suatu keserasian dengan alam.

Baca Juga:

Dalam bidang perlindungan tanaman, interaksi yang terjadi antara patogen atau hama, tanaman, dan lingkungannya (segitiga penyakit) memicu terjadinya mekanisme pertahanan diri tanaman dari serangan OPT.

Selain mekanisme pertahanan alami yang dimiliki oleh tanaman, terkadang manusia menginduksi gen tahan agar tanaman memiliki perisai ketahanan lebih tinggi terhadap serangan OPT.

Ketahanan vertikal diatur oleh gen tunggal (monogenik) atau beberapa gen (oligogenik) secara tegak lurus, menghasilkan ketahanan genetik tingkat tinggi pada awal serangan sehingga dapat menunda terjadinya epidemi, namun dengan berjalannya waktu, mekanisme ini mudah patah sehingga kultivar yang awalnya resisten berubah menjadi rentan.

Penggunaan varietas dengan ketahanan vertikal akan menyebabkan tekanan seleksi yang kuat terhadap hama sehingga dapat menimbulkan munculnya biotipe hama baru dengan daya serang yang lebih kuat (Sharma et al., 2003).

Penanaman tanaman dengan varietas yang sama secara terus-menerus dengan gen tahan tunggal dapat mempercepat timbulnya biotipe baru yang terjadi melalui jalur seleksi alami, buatan, atau mendekati seleksi alami (Baehaki 2010).

Dengan mengilustrasikan kejadian resistensi yang terjadi pada penggunaan pestisida secara terus menerus dengan bahan aktif dan golongan yang sama, demikian juga halnya biotipe yang terbentuk pada gen ketahanan vertikal ini.

Contoh fenomena munculnya biotipe baru ditunjukkan oleh wereng batang coklat/ WBC (Nilaparvata lugens) dan kutu kebul (Bemisia tabaci) yang hingga saat ini masih menjadi permasalahan dalam meningkatkan produktivitas pada beberapa komoditas.

Pada komoditas perkebunan, B. tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) menjadi hama pada tembakau dan kapas. Kutu kebul menimbulkan kerusakan langsung pada tanaman dengan menghisap cairan tanaman sebagai sumber makanan (Van de Ven et al. 2000), menimbulkan gangguan fisiologis (McCollum et al. 2004), dan memacu tumbuhnya cendawan embun jelaga pada tanaman inangnya.

Selain itu, hama ini juga berperan sebagai vektor berbagai virus yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman (Legg et al. 2002).

Di Indonesia, hama ini diketahui pertama kali sebagai vektor virus Gemini pada tahun 1938 yang menyerang tembakau di daerah Sumatera dan Jawa, yang ditularkan dari gulma (Kalshoven, 1950).

Keragaman kutu kebul ditunjukkan oleh munculnya populasi-populasi spesifik lokasi yang memiliki perbedaan dalam hal kemampuannya untuk makan, reproduksi, dan penularan virus (Bedford et al., 1994). Menurut Sudiono dan Yasin (2006) kutukebul memiliki keragaman yang tinggi baik intra lokasi maupun antar lokasi.

Sampai saat ini diketahui ada sekitar 20 biotipe kutukebul yang telah diidentifikasi. Sebagian biotipe tersebut memiliki kisaran inang dan daerah distribusi yang terbatas, tetapi sebagian besar lainnya, terutama biotipe B, memiliki distribusi yang luas (Bedford et al., 1994).

B. tabaci biotipe B yang juga dikenal sebagai Bemisia argentifolii (Gennadius) merupakan jenis biotipe yang lebih ganas dalam merusak tanaman dibandingkan dengan biotipe non-B.

Perkembangan populasi B. tabaci biotipe B dua kali lebih cepat dibandingkan biotipe non-B. Kutu kebul B. tabaci biotipe B berpotensi lebih berbahaya dibandingkan dengan biotipe non-B sehingga perlu diwaspadai keberadaannya (Hidayat et al. 2017).

Salah satu faktor penyebab munculnya biotipe baru dengan tingkat serangan lebih besar diduga akibat penggunaan varietas unggul yang memiliki daya resistensi berdasarkan gen yang sangat sempit.

Dengan demikian diperlukan pengembangan ketahanan horizontal, dengan pengembangan metode skrining yang efektif dan cepat dalam hal : (1) mendapatkan sumber ketahanan, (2) mengetahui pola atau bentuk pewarisan gen, (3) mengetahui mekanisme ketahanan yang dibangun tanaman.

Hal ini menjadi tantangan bagi para ilmuan untuk menyatukan gen-gen ketahanan ke dalam satu genotipe tertentu sehingga genotipe tersebut memiliki ketahanan yang bersifat (horizontal) terhadap beberapa biotipe hama tertentu.

Untuk sementara waktu jika belum ditemukan gen horizontal, penggunaan gen vertikal harus diikuti dengan pergiliran tanaman untuk mencegah munculnya biotipe baru hama yang lebih ganas.

Farriza Diyasti, Yani Maryani, dan Eva Lizarmi POPT Ahli Muda Direktorat Perlindungan Perkebunan turut serta dalam penulisan ini.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru