JAKARTA – Fashion adalah salah satu industri yang memperkerjakan banyak orang. Di seluruh dunia, setidaknya 60 juta orang bekerja di industri ini. Produksi kerajinan tangan adalah industri terbesar kedua di negara-negara berkembang.
Di India ada sekitar 34 juta pengrajin kerajinan tangan. Mayoritas perajin dan buruh garmen saat ini adalah perempuan. Indeks Perbudakan Global memperkirakan ada 40 juta orang yang hidup dalam perbudakan modern saat ini. Banyak di antara mereka yang tinggal di negara-negara berkembang tapi bekerja memproduksi pakaian merek fashion dari Barat.
The Conversation membeberkan bahwa perbudakan modern meliputi kerja paksa, hutang yang mengikat, pernikahan paksa, praktik perbudakan maupun yang menyerupai perbudakan, serta perdagangan manusia.
Contohnya ketika seseorang dipaksa bekerja lembur tanpa dibayar, anak-anak dipaksa memetik kapas oleh pemerintah Uzbekistan padahal mereka seharusnya bersekolah, pekerja perempuan diancam dengan kekerasan jika mereka tidak menyelesaikan pesanan tepat waktu, dan buruh yang paspornya ditahan hingga mereka dapat membayar biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mendatangkan buruh tersebut ke negara tempatnya bekerja.
“Organisasi-organisasi advokasi menyatakan industri fashion adalah satu dari lima sektor industri yang terlibat dalam perbudakan moderni. Negara-negara maju G20 mengimpor produk fashion senilai $US127,7 miliar yang diduga hasil dari perbudakan modern,” ujar Assistant Professor of Fashion Design, Ethics and Sustainability, School of Fashion, Ryerson University Anika Kozlowski beberapa waktu lalu.
Menurut Anika, masyarakat harus mengatasi isu kolonialisme dan rasisme terhadap lingkungan jika ingin menangani masalah di industri fashion, seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan gender, perusakan lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
“Orang-orang yang paling miskin dieksploitasi dan dibayar murah untuk membuat pakaian-pakaian modis,” katanya.
Para pekerja ini, menurut Anika, adalah orang-orang yang bekerja lembur tanpa upah dan pulang ke rumah yang saluran airnya terkontaminasi oleh limbah pabrik. Selain itu, mereka juga menderita penyakit yang disebabkan karena tinggal di daerah yang sangat tercemar.
Ketika negara-negara Barat sudah bosan, lanjutnya, mereka mengekspor kembali pakaian yang sudah tidak diinginkan ke negara-negara berkembang tadi.
Donasi ini lantas menghancurkan komunitas-komunitas lokal dengan memenuhi tempat pembuangan sampah mereka dan memperburuk ekonomi lokal karena membuat perajin dan bisnis lokal tidak dapat bersaing dengan harga murah pakaian hasil sumbangan tadi.
Transparansi dan keterlacakan adalah kuncinya
Perusahaan mode yang transparan dan dapat dilacak adalah salah satu kuncinya. Menurut Anita, transparansi melibatkan keterbukaan, komunikasi dan akuntabilitas. Sebagai sesama warga bumi, Ia mengajak adanya transparansi dan akuntabilitas.
“Kita tidak lagi mampu menjalani gaya hidup yang selama ini kita jalani. Menurut sebuah laporan dari Ellen MacArthur Foundation, industri fashion memproduksi 53 juta ton serat setiap tahun dan lebih dari 70{449fde34b18ca6505a303acf59cd2914251092e879039fa6b1605563bfad8ebc} berakhir di tempat pembuangan akhir atau tempat pembakaran sampah. Kurang dari satu persen digunakan untuk membuat pakaian baru,” jelasnya.
Anita memaparkan bahwa, lebih dari setengah fast fashion yang diproduksi dibuang dalam waktu kurang dari satu tahun. Satu truk penuh pakaian terbuang sia-sia setiap detiknya di seluruh dunia.
Poliester adalah serat yang paling umum digunakan saat ini, akibatnya setengah juta ton serat poliester yang rontok ketika pakaian dicuci mencemari lingkungan, jumlah ini 16 kali lebih banyak dari microbeads plastik yang berasal dari alat kosmetik dan mengakibatkan polusi laut.