SEMARANG – Sebelum merdeka dulu, banyak pejuang Indonesia yang rela berkorban demi terbebas dari belenggu penjajah. Tapi mungkin, tidak banyak yang tahu kalau para pejuang datang dari berbagai kalangan.
Beberapa di antaranya adalah Tionghoa, kalangan yang sempat diragukan tingkat nasionalismenya pada suatu masa.
Salah satunya adalah Trisno Yoewono. Pria kelahiran Bojonegoro itu pernah mengikuti sejumlah pertempuran, termasuk juga Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Hari raya Imlek yang jatuh pada Selasa (1/2) kemarin digunakan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk menyambangi rumahnya yang terletak di daerah Bulusan, Kecamatan Tembalang.
Pria berusia 77 tahun itu mengaku sudah beberapa kali bertemu gubernur di acara resmi yang melibatkan veteran, namun ia tak menyangka pintu rumah sederhananya kali ini diketuk oleh sang gubernur langsung.
“Nama kecil saya Lie Xia Yu. Saya ganti, ya, karena zaman Soeharto dulu. Kira-kira tahun 1968. Yu-nya dipakai untuk Yoewono, jadi Trisno Yoewono,” katanya mengawali perkenalan.
Perbincangan kemudian berlanjut dengan Yoewono yang menceritakan pengalaman hidupnya.
Ia bercerita tentang pendidikan militer yang pernah diikutinya hingga pengirimannya ke daerah perbatasan. Tidak ada perasaan lain di dalam dirinya selain bangga karena dapat membela negara.
Ketika ditanya oleh Ganjar tentang alasan keikutsertaan dirinya dalam peperangan, padahal ia sendiri adalah keturunan Tionghoa, Yoewono menjawab dengan penuh semangat.
“Kita kesadaran diri, kita lahir di indonesia, mau gimana ya jadi orang indonesia. Wah nggak ada (gaji), kita rela mati untuk bela negara,” ujar Yoewono.
Di usianya yang tidak lagi muda, Yoewono yang sudah mengidap stroke itu menghabiskan waktu dengan melukis.
Gaya lukisannya yang hidup dalam realisme nyatanya berakar dari sang guru, Dullah, yang tidak lain adalah pelukis istana kesayangan Bung Karno.
“Wah keren, berarti ini lukisan njenengan alirannya realis ya. Katanya pernah bikin pameran, mbok dipamerkan lagi,” tutur Ganjar.
Yoewono mengaku belum menghasilkan banyak lukisan. Terlebih karena kondisinya yang sakit-sakitan sekarang, ia lebih banyak menciptakan sketsa.
Di sela-sela obrolan, Ganjar mendapati sebuah lukisan yang mirip dengan dirinya. Sayang, lukisan itu belum juga rampung.
“Pak Yu, nanti kalau sudah selesai itu lukisannya, kabari saya ya. Biar saya beli,” tutur Ganjar sembari berpamitan.
Di ambang pintu rumahnya, Yoewono menyampaikan rasa terima kasihnya pada Ganjar berulang kali.
Menurutnya, Ganjar adalah sosok gubernur yang rendah hati dan tidak melupakan rakyat kecil.
“Terima kasih pak Ganjar, sudah datang. Tadi ngobrol banyak saya cerita macem-macem. Pak gubernur baik sama rakyat kecil, saya nggak pernah lupa sama pak gubernur,” ujarnya.