JEPANG – Budaya sungkan dan larangan untuk tidak bertengkar dengan orang yang lebih tua membuat kesetaraan gender di Jepang meningkat. Jepang adalah negara dimana orang-orang hanya patuh pada orang yang lebih tua.
Jadi, orang Jepang lebih memilih mendiamkan pelaku seksisme (perilaku diskriminatif pada gender tertentu) di sekitar mereka ketimbang menegurnya. Tujuannya adalah agar tidak muncul situasi canggung dalam percakapan.
Di masa lalu, para pemimpin di Jepang saat seorang pejabat melakukan tindakan seksisme, seperti menghina wanita maka mereka akan langsung menjaring simpati publik dengan mengatakan bila Ia diusir oleh istri dan anaknya karena pernyataannya. Dan, persoalan selesai.
Sampai akhirnya, beberapa waktu lalu, perempuan lansia di Jepang mendukung petisi seorang perempuan bernama Momoko Nojo (23) yang meminta agar jumlah wanita yang terjun ke politik harus bertambah.
Para lansia ini mengatakan bahwa ketidaksetaraan gender di Jepang muncul karena mereka tidak bersuara di masa lalu. Sehingga sampai tahun 2021 ini pun seorang pejabat masih berani menghina perempuan. Untuk diketahui, Ketua pekan olahraga Olimpiade Tokyo Yoshiro Mori dalam acara pertemuan Komite Olimpiade Jepang beberapa waktu lalu mengatakan bila wanita terlalu banyak bicara.
“Saya ingin mengatakan dengan lantang bahwa tidak hanya wanita Jepang yang marah dengan komentar seksisme itu,” kata Komazaki.
“Mayoritas laki-laki, termasuk anggota parlemen, menganggap komentar dan tindakan seksisme yang dilakukan oleh Mori dan anggota parlemen ini tidak terpikirkan,” jelasnya.
Komazaki yakin perubahan generasi akan membantu perbaikan kondisi ini. Beberapa pria-pria berumur kata Komazaki telah mengubah sifat buruk mereka dengan meluangkan waktu lebih banyak dengan cucu atau kolega mereka yang lebih muda.
Sebagaimana diketahui, hanya sedikit perubahan yang berarti dalam isu perbaikan hak perempuan di Jepang. Laporan Kesenjangan Gender Global 2021 dari Forum Ekonomi Dunia menempatkan Jepang pada peringkat 120 dari 156 negara dalam hal kesetaraan gender, turun 40 peringkat dibandingkan peringkat 2006.
Meskipun lebih banyak wanita yang benar-benar bergabung dengan angkatan kerja, banyak yang tetap bekerja paruh waktu atau non-karir yang tidak memungkinkan mereka untuk mengakses pekerjaan teratas.
Di sektor swasta, jumlah manajer perempuan naik menjadi 7,8{449fde34b18ca6505a303acf59cd2914251092e879039fa6b1605563bfad8ebc} pada tahun 2019. Namun angka tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan oleh pemerintah, yakni 30 persen. Diam-diam pemerintah Jepang menambah capaian target ini hingga tahun 2030 mendatang.
Sementara itu dalam politik, partisipasi perempuan hanya 9,9 persen di parlemen. Karena kondisi ini Jepang menduduki peringkat 166 dari 193 negara yang hanya memberi ruang kecil bagi perempuan.
Akibat situasi ini, pria masih mendominasi bisnis dan kepemimpinan politik di Jepang. Negara ini sangat lamban mengeluarkan aturan yang berpihak pada perempuan. Bahkan di beberapa tempat kebencian pada perempuan terus bertambah.