SRI LANKA – Protes anti-pemerintah mengguncang ibu kota Sri Lanka di tengah maraknya tuntutan agar presiden negara tersebut, Gotabaya Rajapaksa, segera mengundurkan diri. Alasannya, krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dekade yang dihadapi oleh negara Asia Selatan tersebut.
Puluhan ribu orang berkumpul di luar kantor presiden di Kolombo pada hari Selasa (15/3). Mereka dipimpin oleh pendukung partai oposisi, United People’s Force.
Sajith Premadasa selaku pemimpin oposisi berpidato di depan para pengunjuk rasa, menyatakan bahwa aksi mereka menandai awal perjalanan penggulingan pemerintahan saat ini.
“Kalian telah menderita sekarang selama dua tahun. Dapatkan kalian menderita lebih lama lagi?” serunya kepada kerumunan pengunjuk rasa. Mereka membawa poster dan spanduk anti-pemerintah.
Premadasa menggambarkan pemerintahan yang sedang menjabat sebagai “jahat” dan menyalahkannya atas banyak kesengsaraan ekonomi negara.
Pemerintah, menurut para demonstran, telah mengelola ekonomi dengan tidak benar sehingga menciptakan krisis valuta asing yang menyebabkan kelangkaan kebutuhan pokok seperti bahan bakar, gas untuk memasak, susu bubuk, dan obat-obatan.
Kini, Sri Lanka sedang berjuang untuk membayar impor karena cadangan devisanya berada pada titik terendah sepanjang masa.
Persediaan bahan bakar yang lebih sedikit dari biasanya telah membatasi transportasi di dalam negeri, termasuk untuk pasokan penting, dan telah menyebabkan pemadaman listrik selama berjam-jam setiap hari.
Dalam menghadapi krisis fiskal, bank sentral Sri Lanka mengambangkan mata uang nasional pekan lalu. Hal ini kemudian mengakibatkan devaluasi sebesar 36 persen dan berlanjutnya kenaikan harga yang tajam.
Pihak berwenang telah memperluas impor yang dilarang termasuk beberapa buah-buahan dan produk susu, di samping larangan yang telah diberlakukan pada impor mobil, ubin lantai, dan produk lainnya.
Adapun pelarangan impor ini dilakukan untuk menghentikan arus keluar mata uang asing.
Sebagian krisis fiskal Sri Lanka didorong oleh utang luar negeri yang sangat besar, yaitu sekitar 7 miliar dolar Amerika Serikat atau hampir 100 triliun rupiah.
Sumber: Al Jazeera