JAKARTA – Rasa kecewa Novel Baswedan atas kasus yang menimpa dirinya jadi sorotan tajam selama beberapa waktu belakangan ini. Pasalnya, Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini tidak puas atas putuskan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara dimana tersangka pelaku penyiraman air keras ke wajahnya hanya dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, dua pelaku yang menyerang Novel Baswedan pada Kamis 11 Juni 2020 lalu memang resmi masuk penjara, tapi apa kasusnya juga akan berhenti begitu saja?
Novel Baswedan lewat akun Twitternya @nazaqistsha secara langsung menunjukkan rasa tidak puas atas putusan hakim tersebut, Ia dengan tegas meminta keadilan langsung kepada Presiden Joko Widodo agar tidak ada rekayasa atas kasus yang menimpa dirinya.
“Pak Presiden @Jokowi, proses penegakan hukum hingga tuntutan 1 tahun terhadap penyerang saya, apakah seperti itu penegakan hukum yang bapak bangun atau ini ada rekayasa masalah dibalik proses itu? Sebaiknya bapak merespon agar ini jelas,” cuit Novel.
Selain tidak yakin terhadap dua pelaku yang dijatuhi hukuman kemarin, Novel yakin ada hal yang mencurigakan terhadap dua pelaku karena keterangan bukti dan saksi tidak berkaitan sama sekali.
Novel mempertanyakan sistem hukum seperti apa yang tengah dipakai oleh Indonesia karena sebagai salah satu penyidik KPK, yang mengerti hukum, menurutnya terlalu banyak hal yang sifatnya mengada-ada dan tidak masuk akal.
Kasus semacam ini diyakini Novel dapat menimpa siapapun dan dari kalangan manapun. Ia heran mengapa masyarakat dipaksa diam terhadap ancaman yang ditujukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Untuk diketahui, siraman air keras yang mengenai wajah dan tubuh Novel Baswedan terjadi pada tanggal 11 April 2017.
Saat itu Novel tengah menangani beberapa kasus gemuk alias kasus yang cukup menyita waktu beberapa orang penting di republik ini. Sebut saja diantaranya adalah kasus buku merah yang disebut-sebut mengarah pada transaksi keuangan CV Sumber Laut Perkasa milik Basuki Hariman.
Selain itu buku itu juga menyeret beberapa petinggi Polri terkait aliran dana gelap dan kasus korupsi pengusaha daging. Diduga kasus-kasus yang ditangani Novel Baswedan membuat gerah beberapa orang.
Hukuman ringan yang diterima oleh dua pelaku banyak menuai spekulasi. Ancaman dan teror yang menimpa Novel Baswedan dikhawatirkan menimbulkan efek lain di masyarakat, salah satunya jadi budaya yang seolah-olah bisa diterima oleh kalangan manapun, termasuk masyarakat biasa.
“Akhirnya semua orang jadi berani mengancam. Sudah jelas itu konyol,” jelas Benita Ginting (34) kepada The Editor, Selasa (23/6).
Wanita lulusan Universitas Gadjah Mada ini menilai terlalu banyak framing yang diciptakan media dan masyarakat terhadap kasus yang menimpa Novel Baswedan.
Ia hanya mengingatkan agar masyarakat tidak terlalu jauh membawa kasus Novel kearah politik, karena pada akhirnya kasus yang terjadi sebenarnya justru tidak terungkap. “Kalau dibawa ke politik bias semua. Masa sudah ancaman pembunuhan cuma satu tahun di penjara?” tanyanya.
Sebagai seorang perempuan, lanjutnya, kasus Novel Baswedan ini sangat menakutkan karena bila seorang penyidik senior KPK saja bisa diancam seperti itu, bagaimana dengan masyarakat biasa terutama wanita. Ia mengimbau agar makin banyak masyarakat yang membicarakan dan mempelajari kasus Novel agar tidak terulang lagi di masa depan.
Lain lagi dengan Tulanto (30), warga yang tinggal di bilangan Slipi, Jakarta Barat ini terang-terangan mengaku ngeri dan was-was karena ancaman dan serangan yang dilakukan oleh dua pelaku yang menyerang Novel Baswedan dianggap biasa oleh aparat hukum.
Ia sepakat dengan pendapat Novel yang merasa bahwa banyak masyarakat yang dibungkam hanya untuk kepentingan segelintir orang saja.
“Merasa ngeri juga karena mengkritik dan menyelidiki saja harus was-was. Sekarang kayanya hanya disuruh diam saja semua,” tuturnya.
“Itu kan percobaan pembunuhan, sangat tidak adil bila hanya dihukum 1 tahun. Novel Baswedan sekarang cacat seumur hidup, apa tidak sedih itu?” katanya.
Pengusaha Pun Cemas Dengan Kasus Ancaman
Tak hanya masyarakat biasa, Hernanta (53) salah satu pengusaha yang tinggal di bilangan Utara Jakarta berpendapat bahwa kasus ancaman yang menimpa seorang penyidik KPK justru sangat mengkhawatirkan pengusaha. Ia khawatir bila dibiarkan maka momen ini akan jadi momen bagi orang-orang yang dibekingi oleh pengusaha besar bertindak serupa layaknya preman.
“Semua orang akan berani bertindak kasar dan mengancam karena didukung oleh orang besar. Yang jelas pasti akan banyak orang tidak menghormati hukum,” ujarnya.
Salah satu contoh yang paling disoroti oleh Hernanta adalah munculnya kembali preman-preman jalanan yang bertindak leluasa menyiksa dan mengancam dalam kasus pembebasan tanah. Contoh sederhana yang sudah sempat hilang ini diyakini Hernata akan marak lagi bila budaya mengancam jadi hal biasa di mata hukum.