19.7 C
Indonesia

Bagaimana Skema Wali Kota Yogyakarta Sumadi Hingga Mampu Tarik 7 Juta Wisatawan di Masa Covid-19 Tahun 2022 Ini? Simak Wawancara Langsung The Editor di Bawah Ini

Must read

YOGYAKARTA – Sumadi resmi dilantik sebagai Pelaksana Tugas Wali Kota Yogyakarta oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 22 Mei 2022 lalu.

Sebagai pejabat yang dipercaya mengatur berbagai hal untuk Kota Yogya, ia memiliki beberapa strategi yang ia percaya akan membawa perubahan baru bagi kota itu.

Dalam perbincangan dengan The Editor pada Jumat (18/11) kemarin, Sumadi mengatakan bahwa gempuran virus Covid-19 tidak membawa pengaruh apa pun bagi industri pariwisata Yogya selama tahun 2022 ini.

Baca Juga:

Pasalnya, target yang dicapai dari hanya 2 juta pengunjung saja ternyata mampu tembus hingga angka 7 juta wisatawan.

Sumadi juga menerima baik kritikan para pengamat yang menilai bahwa pembangunan Kota Yogyakarta kurang memperhatikan aspek kebudayaan lokal.

Nah, apa jawaban Sumadi terkait hal ini? Bagaimana cara Sumadi mendorong industri pariwisata Yogyakarta agar tetap hidup dan bahwa diklaim tidak terkena imbas pandemi Covid-19 sama sekali?

Simak perbincangan kami di bawah ini.

The Editor: Apa visi dan misi bapak wali kota dalam membangun perekonomian Jogja?

Sumadi: Visi saya sebagai penjabat wali kota, melanjutkan visi yang sudah termaktub di dalam dokumen rencana pembangunan jangka panjang yang ada di Kota Yogyakarta. Visinya adalah bagaimana menentukan Kota Yogyakarta sebagai kota nyaman huni dan pusat pelayanan jasa yang berdaya saing kuat untuk keberdayaan masyarakat dengan berpijak pada nilai-nilai keistimewaan. Kemudian dari visi itu, kita jabarkan kepada misi, capaian-capaiannya. Yang pertama adalah memperkuat ekonomi kerakyatan dan keberdayaan masyarakat. Yang kedua adalah memperkuat moral, etika, dan budaya masyarakat Kota Yogyakarta. Yang ketiga adalah memperkuat tata kelola dan kelestarian lingkungan. Yang keempat adalah meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya.

The Editor: Jadi, meskipun Yogyakarta adalah kota pendidikan dengan kunjungan wisatawan yang cukup tinggi, budaya itu tetap nomor satu ya?

Sumadi: Iya, tetap menjadi dasar pijakan untuk yang lainnya.

The Editor: Lalu, apa visi dan misi bapak dalam membangun industri pariwisata Jogjakarta?

Sumadi: Dalam membangun industri pariwisata, kita tidak bisa lepas dari bagaimana kita memperkuat ekonomi kerakyatan dan keberdayaan masyarakat. Tujuan wisatawan itu kan, menarik minat wisatawan ke Jogja untuk datang, berwisata, berbelanja, dan sebagainya. Itu kan merujuk ke visi. Sehingga kami punya beberapa hal yang berkaitan dengan itu, yaitu bagaimana kita memberdayakan Yogya dan menggaet sebanyak mungkin wisatawan untuk datang, sekaligus lama tinggalnya mereka di Yogya juga diatur.

The Editor: Pertanyaan ketiga, tahun 2022 ini, sudah berapa jumlah wisatawan datang ke Yogya?

Sumadi: Karena ini pandemi 2 tahun 3 tahun, kita sebetulnya hanya menargetkan 2 juta wisatawan untuk tahun 2022. Tapi bukti menunjukkan bahwa pergerakan wisatawan sampai 1 September kemarin itu sampai 5,1 juta. Jadi ada peningkatan hampir 2.5 kali. Kami optimis sampai akhir Desember ini bisa sampai 7 juta.

The Editor: Menurut bapak, kenapa hal itu bisa terjadi?

Sumadi: Perkiraan saya adalah karena banyaknya event di Yogya. Saya tanya ke PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), sekarang okupansinya mulai Oktober–Desember selalu full book, rata-rata di atas 80 persen. Apalagi ada event-event besar di Yogya–dan tidak hanya di Yogya, acara-acara di sekitaran Yogya (misalnya Jawa Tengah bagian selatan), pengunjungnya juga rata-rata menginap di Yogya. Maka saya optimis wisatawan kita bisa melebihi 2 sampai 3 kali lipat dari target. Terpaku adalah lama tinggalnya. Data terakhir kita hanya 1.6 hari, tapi kenyataannya per 1 September kemarin ada peningkatan menjadi 1.7 hari.

The Editor: 1.7 hari itu maksudnya bagaimana pak?

Sumadi: Artinya yang semula mereka tinggal hanya sehari lebih, sekarang jadi lebih lama sedikit dari sebelumnya. Kami kan membuat strategi bagaimana wisatawan yang sudah banyak datang ke Yogya, kita adakan event-event yang buat mereka semakin tertarik dan lama tinggal di Yogya. Karena event-event itu memberikan daya tarik tersendiri untuk wisatawan agar lebih lama tinggal di Yogya. Itu yang sedang kami siapkan.

The Editor: Lalu, apa fasilitas baru yang mendukung perkembangan industri pariwisata di Yogya, yang bisa dibagikan ke publik?

Sumadi: Mengenai fasilitas baru, begini, selama ini kan orang kalau datang ke Yogya tidak afdol kalau tidak ke Malioboro, apalagi sekarang Malioboro sedang kita ajukan sebagai sebuah filosofis untuk warisan budaya tak benda UNESCO, sudah kita visitasi. Kami ingin Malioboro tidak hanya sebagai tumpuan, melainkan juga sebagai alternatif pilihan kepada wisatawan yang datang ke Yogya. Branding-nya tetap Malioboro, tapi ada di sayap-sayap sekitaran Malioboro. Contohnya, ketika beberapa waktu lalu kami merayakan ulang tahun (7 Oktober), ada kegiatan hampir seminggu pada tanggal 9 Oktober, kita buat branding The Malioboro Coffee Night. Meskipun namanya begitu, tapi acaranya itu bukan di Malioboro, melainkan di Jalan Sudirman, di sayap timur Malioboro. Dengan tetap menggunakan branding Malioboro, tapi ada di sayap Malioboro, pengunjungnya satu malam bisa 10 ribu orang. Artinya kita ingin menyiapkan event-event yang tidak hanya di Malioboro, tetapi di sirip-siripnya agar wisatawan bisa datang ke sana juga sebagai alternatif. Kita juga sekarang sedang mengembangkan embung di selatan yang kita bangun agar masyarakat tidak hanya terkonsentrasi di Malioboro, namun juga bisa ke selatan. Dibangun bersama pemda. Karena kita punya urusan keistimewaan, embung ini dibangun oleh pemerintah kota dan pemerintah provinsi urusan keistimewaan. Di sana, selain untuk wisata nantinya kita gelar juga beberapa atraksi budaya.

The Editor: Bagaimana cara paling mudah bagi para pelancong, baik dari dalam dan luar negeri, untuk menikmatinya?

Sumadi: Kalau dari luar negeri atau luar daerah/kota yang menggunakan akses pesawat, mendarat di Yogya International Airport di Kulon Progo. Akses pertama lewat kereta bandara, nanti turun di Stasiun Tugu. Kita juga punya Damri, bisa turun di shuttle-shuttle tujuan. Di internal, bagi wisatawan yang tidak bawa kendaraan, ada Trans Jogja yang menghubungkan hampir keliling Yogyakarta dengan biaya yang sangat murah, keliling itu hanya Rp3.500. Itu bisa satu jam lebih, tetap Rp3.500 saja. Bisa dibilang sarana transportasi sudah cukup memadai dan memungkinkan untuk diakses semua pihak. Bahkan untuk wilayah Jawa Tengah bagian selatan, mulai dari Kutoarjo dan Purwokerto, itu ada Blue Pramek bisa sampai ke Solo.

Wali Kota Yogyakarta Sumadi. (Foto: Valenthina Br Tarigan/THE EDITOR)

The Editor: Seberapa besar konsep Malioboro yang sekarang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan industri pariwisata?

Sumadi: Malioboro sekarang itu menjadi ikon, saya kira kontribusinya luar biasa. Artinya, di samping menjadi daya tarik, ada masyarakat UMKM kami yang berjualan di sana dan otomatis memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi. Ending-nya adalah bagaimana kami bisa mensejahterakan masyarakat Kota Yogyakarta. Ketika masa pandemi, teman-teman kami di daerah lain misalnya Bali, mereka kan bergantung di pariwisata saja, ketika pandemi, kunjungan menurun karena adanya pembatasan protokol kesehatan, pertumbuhan drop sekali bahkan hampir minus. Tapi justru di Kota Yogyakarta, dengan masa pandemi, ekonomi kami tumbuh plus, meskipun tidak setinggi sebelumnya, bisa tumbuh 4 persen, karena pariwisata tetap eksis dan UMKM pun tetap berjalan. Hal itu didukung dengan, mungkin, branding Kota Yogyakarta yang sudah sangat dikenal, khususnya untuk masyarakat Indonesia. Orang kalau menyebut Kota Yogyakarta kan sesuatu wah gitu. Kalau saya sampaikan di beberapa teman-teman yang hadir, saya selalu menarasikannya begini, setiap sudut Kota Yogyakarta itu menyenangkan, penuh kenangan, romantis, ngangenin. Bahkan saya lebih sering mengatakannya begini, kalau boleh saya menganalogikan tanah Palestina itu di kitab suci sebagai tanah yang dijanjikan, maka Kota Yogyakarta itu tanah yang ditakdirkan. Karena apa? Karena orang yang pernah belajar, menuntut ilmu, bekerja di Yogyakarta, pernah datang, makan dan minum dari Bumi Yogya, maka suatu saat pasti kangen datang ke Yogya. Dan itu saya lakukan survei kecil-kecilan. Kebetulan saya kan pejabat di sini, definitifnya di Provinsi DIY, saya diminta oleh Pak Gubernur untuk selalu mendampingi pejabat-pejabat yang datang ke Yogya. Data dari tahun 2021 menunjukkan bahwa ada 276 lembaga resmi yang mendatangi provinsi DIY. Kalau setahun ada 255 hari kerja, berarti hampir setiap hari ada yang datang. Lembaga resmi seperti DPRD, kabupaten, kota, provinsi, kementerian, lembaga non-kementerian, itu semua datang.
Saya selalu tanya, kenapa sih datang ke Yogya? Ya itu, Yogya itu ngangenin, Yogya itu menyenangkan. Sehingga saya selalu mengatakan itu, Yogya itu tanah yang ditakdirkan. Orang yang pernah datang, menuntut ilmu, suatu waktu dia akan datang lagi ke Yogya. Sehingga, bagi kami, pariwisata Yogya membuat kami optimis sekali. Apalagi nanti ketika akses tol Yogya-Solo selesai pada Juli 2024 nanti. Saya telah sampaikan ke masyarakat bahwa kita harus mengalah. Asal Sabtu-Minggu, kita beri kesempatan masyarakat untuk menikmati Kota Yogya.

The Editor: Bagaimana cara Pak Wali Kota mempertahankan dan menjaga budaya asli Yogya serta mendorong ekonomi dan pariwisata di waktu yang bersamaan?

Sumadi: Pertama, warisan budaya tetap harus dijaga. Kami punya kelompok-kelompok seni budaya, agar warisan budaya tetap terjaga dan disampaikan ke generasi muda. Yang kedua, event-event itu selalu diadakan. Bahkan saya meminta kepada pemerintah DIY untuk membuat kalender event tahunan, yang tidak hanya berisi event-event untuk kota, melainkan juga untuk kabupaten/kota penyangga di sekitar sehingga event itu berjalan terus dan tidak bertumbukan, agar orang tidak bingung. Jadi orang yang datang tinggal melirik ke kalender event tahunan dan mendatangi yang ia minati. Untuk itu kita bersinergi dengan teman-teman kabupaten/kota se-DIY, kemarin juga telah difasilitasi oleh kadin. Kami juga dikeluhkan oleh PHRI, karena kadang kami nolak-nolak wisatawan, tapi di satu sisi kami kosong, nah itu lah kami buat event-event agar tidak kosong dan diatur agar tidak bertubrukan. Untuk aspek budayanya, selalu kita kembangkan dan lestarikan dengan digiatkan hampir di setiap kelurahan, ada yang namanya Sistem Informasi Kebudayaan. Masyarakat terdaftar ke sistem tersebut dan nantinya otomatis tergabung ke suatu kelompok budaya dan nantinya difasilitasi pengembangannya. Budaya itu tetap jadi nomor satu yang dikembangkan. Contohnya tadi, ada gelar acara pertanian yang kita selipkan penampilan tarian anak-anak dari kelurahan. Semuanya menikmati. Kita padukan pertanian dengan budaya.

The Editor: Pertanyaan terakhir, ada banyak universitas di Yogya, namun banyak pengamat yang menyayangkan pembangunan kota yang dinilai kurang futuristik seperti di Eropa. Bagaimana pandangan bapak mengenai kritik tersebut?

Sumadi: Pandangan itu menjadi pemecut buat kami. Kita kan menyadari bahwa sebetulnya Kota Jogjakarta bukan kota yang luas, dan kita punya beberapa kawasan strategis yang memang kita perlu lestarikan. Contohnya di lingkungan dalam Keraton Yogyakarta, di lingkungan puro pakualaman, di lingkungan kawasan cagar budaya di Kotagede–bangunan-bangunan Mataram Kuno, ada yang di Kota Baru–Indis, di Jalan Malioboro itu juga ada namanya Pecinan Ketandan. Memang tidak dipungkiri dari perkembangan sekarang, bangungan-bangunan yang tumbuh istilahnya, tapi kita punya peraturan tentang cagar budaya. Boleh mereka membangun, tapi karakteristik tentang ke-Yogya-annya dengan kawasan-kawasan strategis itu harus tetap dijaga. Contoh misalnya di Kota Baru, mereka ingin merehab atau membangun, karakter Indisnya harus tetap diperlihatkan, jangan sampai ada ‘bangunan lain’ di kawasan tersebut. Apakah fasadnya, atau hal lainnya yang memberikan ciri Indis. Misalnya di Kota Gede, itu kan Jawa, haruslah ada karakter-karakter semacam Joglo atau lainnya. Kita mencoba untuk, di satu sisi kita punya visi tadi–bagaimana mensejahterakan masyarakat Kota Yogyakarta, itu semua harus kita angkat berbarengan, baik di bidang kesehatan, pendidikan, pariwisata–harus tetap kita kembangkan, tapi tetap harus mendasarkan pada aspek budaya.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru