JAKARTA – Setidaknya, demikian cuplikan pembicaraan antara The Editor dengan Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk Theresia Rustandi beberapa waktu lalu.
“Masyarakat yang mau beli itu bukan masyarakat yang nggak bisa ngitung. Benar nggak? Jadi, apa yang mereka beli apa yang mereka dapat. Sama saja. Jadi, kalau memang harga tanahnya disitu sudah mahal saat dibeli, tidak mungkin nilai jualnya lebih rendah, itu nggak mungkin. Kita harus hitung,” ungkapnya.
Pernyataan Theresia ini cukup beralasan, mengingat beberapa tahun terakhir ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta giat membangun pedestrian hingga ke pelosok Jakarta. Perlahan tapi pasti, dimana sejak era pemerintah Gubernur DKI Joko Widodo dan Wakilnya Basuki Tjahaja Purnama area kaki lima memang diperbaiki dan di buat ramah untuk pejalan kaki.
Beberapa penjual yang biasa nangkring di kaki lima juga perlahan di geser. Gaya hidup masyarakat Ibukota pun berubah jadi lebih suka berjalan kaki dari dan menuju lokasi kerja. Dan tentu saja, satu hal yang tidak bisa dihindarkan adalah nilai properti di suatu wilayah yang mudah di jangkau akan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang sulit di jangkau.
Yang membuat sebuah nilai properti itu mahal adalah finishing, kata Theresia. Finishing adalah proses penyelesaian atau penyempurnaan akhir dari suatu bangunan. Konstruksi dasar itu pada umumnya sama, lanjut Theresia, kecuali, bangunan yang dimaksud berada di lokasi yang sangat sulit di jangkau sehingga harus mendatangkan alat khusus untuk konstruksinya.
“Misalnya kalau daerahnya berada di tanah yang lembek atau terus bergerak itu butuh alat khusus ya. Tapi pengembang itu menentukan harga semena-mena nggak mungkin karena supply dan demand itu mengikuti,” ungkapnya lagi.
Bila memang pedestrian yang jadi acuan, masih kata Theresia, maka pihak pengembang akan berpatokan pada peraturan pemerintah yang mengatur tentang prosentase luasan lahan yang bisa dijadikan kavling untuk dijual dibandingkan dengan luas lahan secara keseluruhan. Keberadaan pedestrian ini memang diakuinya mempermudah akses masyarakat dalam beraktivitas.
Contohnya, bila pengembang membeli lahan seluas 1000 hektar, maka 40{449fde34b18ca6505a303acf59cd2914251092e879039fa6b1605563bfad8ebc} dari luas lahan harus dijadikan sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasos fasum).
Kata Theresia, cibiran yang sering muncul di masyarakat adalah saat mereka tahu berapa nilai jual tanah yang dibangun saat pertama kali oleh pengembang.
Saat harga rumah yang tersedia dianggap cukup mahal, Theresia meminta agar calon pembeli mengetahui proses pembangunan rumah tersebut serta memahami furnishing apa saja yang dipakai untuk membuatnya layak dilabeli dengan harga milyaran. Karena pada umumnya pemilihan bahan bangunan sangat berpengaruh pada biaya pembangunan rumah atau apartemen itu sendiri.
“Coba saja beli di daerah Menteng dan mau jual. Dulu belinya per meter Rp 2 juta sekarang kalau di jual Rp30 juta per meter. Kan aku untung, bener nggak? Itulah developer, kita membuat yang tadinya useless atau tidak berharga menjadi berharga. Ketika Ia nanti sudah berharga maka Ia yang tadi menjual tidak akan bisa lagi tanahnya,” jelas Theresia.
“Developer bukan kontraktor,” tutupnya.
Intiland meraih penghargaan Top CSR Awards Star 3 di ajang Top CSR Awards 2020 yang digelar majalah Top Business, Komite Nasional Kebijakan Governance, dan CSR Society di Jakarta, Juli 2020. Penghargaan ini merupakan apresiasi atas komitmen Intiland dalam menjalankan program CSR yang baik dan berkelanjutan.