AUSTRALIA – Sejauh ini, Australia Selatan baru menerapkan dua kali ‘lockdown’ pada 17 November tahun 2020 dan 20 Juli tahun ini.
Dua ‘lockdown’ di Adelaide juga berlangsung tidak lebih dari seminggu. tidak seperti di Melbourne yang mencetak rekor sebagai kota paling lama yang memberlakukan ‘lockdown’.
Hingga kemarin Rabu (06/10), negara bagian tersebut mencatat empat kasus COVID-19 aktif, dengan empat kematian sejak awal pandemi.
Sementara untuk vaksinasi, Australia Selatan, setidaknya 70 persen warganya sudah mendapat vaksinasi dosis pertama.
Wakil kepala pejabat kesehatan publik Australia Selatan, Dr Chris Lease, menyebutkan kepemimpinan menjadi salah satu alasan bisa tercapainya semua ini.
“Kunci keberhasilannya juga adalah di sistem. Tapi menurut saya, komunitas Australia Selatan juga menjadi berperan,” kata Dr Chris seperti dirilis oleh ABC.
“Mereka menaati segala instruksi yang kami minta untuk dilakukan, dan terus menaatinya.”
Mengapa tetap harus prokes meski sudah divaksinasi?
Profesor Nicola mengatakan kebanyakan warga berpikir karena sudah divaksinasi artinya “kita sudah bebas.”
“Tapi pemodelan kita dan pengalaman negara-negara lain seperti Israel, Amerika Serikat, Kanada, yang tingkat vaksinasinya tinggi menunjukkan warganya masih harus melakukan protokol kesehatan.”
Profesor Nicola mengatakan penyebabnya adalah varian Delta yang mudah menular.
“Kita tidak dapat bergantung pada vaksinasi, karena tidak ada hal yang 100 persen dan tidak 100 persen orang akan divaksinasi,” ujar Nicola.
“Jadi yang kita lakukan saat ini adalah mencegah naiknya kasus, sehingga sistem kesehatan tidak kewalahan dan mereka yang kena COVID bisa mendapatkan perawatan yang semestinya,” ujarnya.
“Maaf kalau terkesan berita buruk, tapi itu kenyataannya.”
Sampai kapan risiko penularan COVID-19 akan tetap ada?
“Sampai semua negara di seluruh dunia dapat bekerja sama dan semua orang dapat akses vaksin,” kata Profesor Nicola.
“Inilah mengapa saya sangat berhati-hati kalau sudah urusan pembukaan perbatasan internasional dan memonitor varian baru.”
Australia memang sudah menentukan pembukaan perbatasan bulan November nanti, meski tanggalnya belum dipastikan dan masing-masing negara punya aturan yang berbeda.
“Untuk keluar dari pandemi ini, memang penting memperhatikan apa yang dilakukan Australia, tapi kita juga harus memastikan keadilannya merata di semua negara lainnya,” katanya.
“Dan saat ini banyak sekali negara berkembang yang belum mendapat vaksin.”
Bolehkah mencampur vaksin?
Profesor Nicola mengatakan beberapa negara memang sudah mencampur beberapa vaksin berbeda.
Seperti juga Indonesia, yang memperbolehkan penggunaan Moderna sebagai ‘booster’ bagi yang sudah divaksinasi Sinovac.
Namun, hal tersebut belum dilakukan di Australia, yang sejauh ini menggunakan tiga merek vaksin: Pfizer, AstraZeneca, dan Moderna.
“Alasannya adalah karena penelitian masih berjalan. Perusahaan obat masih melakukan percobaan mencampur kombinasi vaksin,” katanya.
“Karena memang ketika dua jenis vaksin dicampur, kadang kekebalan tubuh bisa semakin kuat, tapi efek sampingnya mungkin juga lebih banyak.”
Pencampuran vaksin akan diizinkan di Australia “setelah ada bukti keamanannya”, menurut Profesor Nicola.
Patutkah vaksin diwajibkan?
Pertanyaan ini muncul menyusul unjuk rasa yang melibatkan ribuan pekerja konstruksi di Melbourne yang menolak keharusan vaksinasi dua minggu lalu (21/09).
“Kami belum mewajibkan. Kami hanya fokus pada bagaimana cara melindungi masyarakat yang paling rentan,” kata Profesor Nicola.
Tapi pada kenyataannya vaksin sudah diwajibkan bagi warga dengan profesi tertentu di Australia Selatan, misalnya tenaga kesehatan di rumah sakit, pekerja dan sukarelawan panti jompo, kontraktor, petugas karantina hotel.
“Kami punya alasan kesehatan yang sangat jelas untuk mewajibkan. Karena orang-orang ini sering berhubungan dengan mereka yang rentan,” kata Profesor Nicola.
Tidak menutup kemungkinan juga nanti Australia Selatan akan memberlakukan paspor vaksin bagi semua orang, seperti sebelum masuk ke salon atau layanan kecantikan.
“Jadi, menarik sekali kalau kita bisa mengetahui orang sudah divaksinasi atau belum dari panjang rambutnya,” ujar Profesor Nicola, sedikit tertawa.