Di jantung perkebunan kelapa sawit Malaysia yang membentang 490.000 hektar, sebuah revolusi sedang berlangsung. Drone otonom meliuk di antara pepohonan, sensor blockchain memantau nutrisi tanah dan AI menganalisis data cuaca hiperlokal. Inilah terobosan kolaborasi Farmsent, DroneDash dan SkyX – sebuah blueprint pertanian masa depan yang efisien, berkelanjutan, dan melibatkan partisipasi global.
Keputusan Malaysia ini dimuat oleh Forbes yang dipublikasikan pada tanggal 8 Juni 2025 lalu dimana dikatakan bila Negari Jiran tersebut berhasil mengubah paradigma di bidang pertanian karena tanah dijadikan sebagai komoditas yang hidup melalui sistem sensor tokenisasi.
UJI COBA YANG MEMBAWA PERUBAHAN
Artikel tersebut mengatakan bila saat ini perusahaan Farmsent tengah menghadirkan sensor tanah berbasis blockchain yang memantau nitrogen, fosfor, dan kalium secara real-time di lahan-lahan pertanian di Malaysia.
Data ternyata ini tidak sekedar memandu pemupukan presisi, tapi juga di-tokenisasi menjadi aset digital. Investor global kini bisa membeli “saham” dalam sensor tersebut melalui Web3 – sebuah model yang mengubah petani kecil menjadi bagian dari ekonomi digital global.
Dalam percobaan tersebut juga, teknologi DroneDash terbukti bisa memangkas biaya. Caranya dengan mengatur armada drone agar menyemprot pestisida dan pupuk dengan akurasi centimeter sehingga dibuat mampu mengurangi penggunaan bahan kimia hingga 50%. Efisiensi ini bukan hanya angka karena bisa dipakai untuk menyelamatkan ekosistem sungai dan tanah dari polusi.
KINI IKLIM JUGA JADI ASET KARENA CUACA JUGA DITOKENISASI
Lain lagi dengan perusahaan SkyX yang melengkapi puzzle langit Malaysia ini dengan stasiun cuaca hiperlokal. Suhu, kelembaban, hingga tekanan udara direkam dan dienkripsi di blockchain peaq. Uniknya, data cuaca ini menjadi aset investasi – membuka peluang partisipasi global dalam ketahanan iklim pertanian.
Dengan cara ini, sistem AI tak hanya memproses data real-time, tapi belajar dari setiap musim. Seperti yang dijelaskan Yog Shrusti (Founder Farmsent): “Kami tak hanya mengoptimalkan hasil panen hari ini, tapi membangun sistem pangan berkelanjutan untuk generasi mendatang.”
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA? POTENSI 1.500 TRILIUN YANG MENANTI SENTUHAN AGRO-SYNERGY
Sementara Malaysia memimpin di perkebunan sawit, tetapi perlu diingat bila Indonesia menyimpan kekuatan yang lebih besar dimana 17 juta hektar lahan pertanian produktif berpotensi untuk ditokenisasi dengan nilai mencapai Rp1.500 triliun. Di sinilah Agro-Synergy (kolaborasi IRWATA dan FarmSent) akan hadir sebagai jawaban.

Tokenisasi ini akan membebaskan petani di Jawa Barat dan kota-kota lainnya agar tidak lagi terbelit utang melalui sistem tokenisasi lahan sayuran atau padi. Lahan 120 hektar dapat dipakai untuk menarik pendanaan Rp18 miliar dalam 3 bulan – tanpa agunan bank dengan skema tokenisasi lahan dan produtifitas. Skema ini memberdayakan petani sebagai pemilik aset digital, bukan buruh di tanah sendiri.
DRONE AI MAMPU JADI PENYELAMAT PANEN PETANI YANG TERABAIKAN
Fungsi pencegahan juga dapat dilakukan oleh drone dari FarmSent dalam program Agro-Synergy untuk mendeteksi serangan wereng 14 hari lebih awal. Teknologi ini dapat menyelamatkan 40% panen yang biasanya hilang. Teknologi yang sama kini dipersiapkan untuk 100.000 Ha lahan sawit di Indonesia sebagai ujicoba awal.
Untuk itu, Indonesia masih berpeluang menjadi pemimpin di bisnis Agritech Global melampaui Malaysia. Mengapa bisa? Karena saat ini Indonesia memiliki potensi yang tidak dimiliki oleh Malaysia dan negara lain, diantaranya:
1. Skala Lahan: 17 juta hektar vs 490.000 hektar Malaysia – potensi ekonomi 34x lebih besar.
2. Regenerasi Petani: 27% pengguna Agro-Synergy adalah petani milenial – generasi melek digital.
3. Model Syariah: Tokenisasi berbasis bagi hasil (muzara’ah) menjadi magnet investor Timur Tengah.
Mochammad Sabdo Yusmintiarto selaku Ketua IRWATA menegaskan bila pihaknya siap mengejar Malaysia dan menempatkan Indonesia sebagai pusat agritech dunia.
“Kami tak hanya mengejar Malaysia, tapi menempatkan Indonesia sebagai episentrum agritech global. Setiap hektar lahan tokenisasi adalah undangan bagi dunia untuk berinvestasi di masa depan pangan berkelanjutan,” ungkapnya.
Sabdo mengatakan bila pihaknya telah mempersiapkan agenda Roadmap 2026 Agro-Synergy dari tahun 2024 lalu, diantaranya dengan melakukan digitalisasi 200,000 hektar lahan pionir di tahun 2024, sertifikasi karbon blockchain untuk ekspor hijau di tahun 2025 dan peluncuran Agro-DAO – keputusan kolektif pemegang token di tahun 2026.
BELAJAR DARI MALAYSIA
Keberhasilan Malaysia mengingatkan Indonesia pada dua hal kritis, yaitu Kementerian Pertanian dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) harus segera mempercepat sandbox regulasi yang mendukung ekonomi digital di bidang pangan.
Selain itu, sudah saatnya membuka pelatihan lewat teknologi yang ramah bagi setiap warga negara seperti halnya WhatsApp melalui penyebaran modul Agro-Synergy) yang dapat dijadikan sebagai kunci untuk mengatasi kesenjangan digital.
Dalam peta agritech global, apa yang dilakukan Malaysia adalah percikan api. Tapi di Indonesia dengan 47 juta petani dan lahan seluas Eropa, maka Agro-Synergy berpotensi menyalakan kebakaran revolusi. Seperti dikatakan Paul Yam (CEO DroneDash) bahwa Teknologi terdesentralisasi bukan cuma konsep, tapi solusi nyata yang menciptakan nilai bagi komunitas dan investor.”
Kini, bola ada di tangan Indonesia: menjadi penonton atau pemimpin?
Penulis: Sabdo Yusmintiarto – Co Founder Farmsent.io – Ketua IRWATA