JAKARTA – Kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Load) 2023 masih menjadi perhatian berbagai kalangan, khususnya para pengusaha yang langsung terkena dampaknya. Secara singkat, kebijakan ini mengatur maksimal beban muatan yang dibawa oleh setiap angkutan logistik dari perusahaan manapun.
Targetnya, pada tahun 2023 nanti, sudah tidak ada lagi angkutan-angkutan logistik dengan beban muatan berlebih (pada umumnya truk) yang terlihat melewati jalanan atau ikut menyeberang dengan kapal.
Pemandangan ODOL selama ini nyatanya memang mengerikan. Ditambah lagi dengan hal-hal yang diakibatkan seperti kecelakaan, jalanan rusak, kemacetan; hal ini tidak lagi hanya mengerikan, namun juga merugikan.
Akan tetapi, pihak pelaku industri melihat ODOL sebagai keefektifan, kecepatan, dan kegiatan menghemat anggaran. Pelaksanaan Zero ODOL di tengah-tengah kondisi pandemi yang belum selesai ini akan membuat anggaran semakin membengkak dengan kondisi finansial mereka yang belum juga stabil.
Diskusi publik “Kesiapan Pemerintah dan Industri Menghadapi Indonesia Bebas ODOL 2023” yang digelar pada Senin (20/12) menghadirkan tiga orang perwakilan pihak pelaku industri.
Tim liputan The Editor berkesempatan mengikuti acara ini dan mendengarkan langsung alasan-alasan dibalik ketidaksiapan industri dalam menghadapi Zero ODOL 2023. Selain itu, ketiganya juga memberikan beberapa saran untuk pemerintah dalam memutuskan kebijakan ini.
Ignatius Warsito selaku Staf Ahli Kementerian Perindustrian menekankan bahwa pandemi Covid-19 sangat berpengaruh pada kestabilan perusahaan. Ditambah lagi dengan beberapa kondisi untuk perusahaan batu bara seperti pajak karbon dan kenaikan harga listrik di masa mendatang.
Dengan diberlakukannya kebijakan Zero ODOL, maka setidaknya perusahaan harus menambah jumlah armada truk yang kemudian berdampak pada kebutuhan lahan parkir yang bertambah, penambahan jumlah bahan bakar, dan penambahan SDM pengemudi. “Semua itu membutuhkan investasi yang besar,” ungkapnya.
“Kementerian Perindustrian dan industri sebetulnya mendukung kebijakan Zero ODOL, tapi kami minta penyesuaian dan waktu lebih lama untuk mempersiapkannya.”
Ignatius kemudian memberikan 3 usulan sebagai bentuk penyesuaian yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, penyesuaian sistem KEUR/KIR terhadap desain kendaraan dan kelas jalan. Kedua, kebijakan penerapan multi-axle. Terakhir, peningkatan kualitas daya dukung jalan (kelas jalan).
“Apabila penyesuaian belum dapat dilaksanakan dan kondisi industri masih belum membaik/kembali memburuk maka dapat dipertimbangkan untuk melakukan penyesuaian kembali waktu pemberlakuan kebijakan Zero ODOL secara penuh menjadi tahun 2025,” pungkasnya.
Dari industri makanan dan minuman, Rachmat Hidayat sebagai perwakilan Asosiasi Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) memaparkan 6 pertimbangan agar Zero ODOL ditunda hingga tahun 2025. Pertama, tentang iklim usaha yang masih berusaha pulih akibat Covid-19.
Kedua, masih diperlukan adanya penyesuaian agar dapat memberikan kepastian dan dukungan untuk iklim usaha yang sehat. Ketiga, banyak peraturan yang dirasa akan melemahkan pihak industri jika Zero ODOL tetap dilaksanakan.
Pertimbangan selanjutnya berkenaan dengan skema intensif yang dijanjikan pemerintah untuk pelaku usaha dalam mendukung kebijakan ini. Intensif ini akan cukup besar jumlahnya mengingat banyak yang harus dilakukan oleh pelaku usaha.
Kelima, prakiraan naiknya harga barang yang dibebankan kepada konsumen akibat harga angkut yang akan naik. Pertimbangan terakhir adalah tentang sanksi atau hukuman. Ia berharap kebijakan ini akan memberikan arahan dan pembinaan dibanding sanksi atau hukuman dalam masa percobaan pelaksanaannya.
Industri makanan dan minuman sendiri, ujar Rachmat, tidak terlalu diberatkan oleh pandemi. Mengingat produk-produk yang dihasilkan adalah yang dibutuhkan oleh masyarakat sehari-hari, industri ini justru mengalami peningkatan produksi. Akan tetapi, permasalahan pengangkutan akan tetap mempengaruhi jalannya distribusi.
Industri kaca lembaran dan pengaman juga cukup terpengaruh oleh adanya pandemi. Dalam paparannya, Yustinus Gunawan selaku Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) menyebutkan bahwa Purchasing Managers Index (PMI) industri ini sempat menurun pada bulan Juli sampai Agustus karena diberlakukannya PPKM darurat.
Oleh karena itu, Ia berharap adanya penyehatan dan penguatan industri manufaktur selama masa pemulihan ekonomi.
Berdasarkan perhitungannya, pada tahun 2022, industri baru akan kembali sepenuhnya ke tingkat operasional sebelum pandemi.
“Dan dibutuhkan waktu dua tahun, 2023 hingga 2024, untuk kembali ke tingkat finansial sebelum pandemi, sehingga industri sudah cukup kuat dan siap investasi untuk peremajaan dan/atau penambahan armada truk,” ungkapnya.
Dari semua pemaparan yang dilakukan oleh ketiga perwakilan tersebut, mereka sama-sama sepakat bahwa tahun 2025 menjadi tahun yang cocok untuk pelaksanaan Zero ODOL.