JAKARTA – Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam kontes Pilpres 2024 kemarin telah diresmikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sejumlah negara-negara sahabat, termasuk Amerika Serikat juga telah mengirimkan surat ucapan selamat kepada pasangan presiden dan calon presiden tersebut.
Namun, dugaan akan adanya kecurangan dalam pesta demokrasi yang berlangsung pada Februari 2024 kemarin masih terus berlanjut hingga kasusnya dibawa ke mahkamah Konsitusi.
Salah satu topik perbincangan yang paling panas dibicarakan selama Pilpres ini adalah tentang keberadaan politik dinasti yang tengah dibangun oleh Presiden Joko Widodo.
Banyak pihak yang mengungkapkan kekecewaannya secara terang-terangan, namun ada juga yang diam karena menilai dengan sudut pandang yang berbeda.
Meski digempur oleh isu semacam itu, nyatanya Prabowo dan Gibran tetap berhasil memenangkan laga Pilpres yang cukup panas.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana posisi partai oposisi setelah kemenangan ini.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim mengatakan sejauh ini posisi politik oposisi di Indonesia sangat lemah.
Salah satu penyebab keberadaan oposisi sangat lemah karena jumlah mereka yang terbatas dan tidak independen.
“Di Indonesia cukup terlihat ada upaya masyarakat untuk beroposisi tapi tidak cukup kuat. Mengapa? Karena oposisi ini lebih ke arah fenomenal kelas menengah yang terbatas, yang jumlahnya kecil, dan bukan kelas menengah yang independen pula. Kadang kelas menengah itu berkaitan dengan partai politik,” ungkap Gaffar saat berbincang dengan The Editor beberapa waktu lalu.
Partai Oposisi Hanya Mengincar Kekuasaan
Keberadaan partai-partai oposisi penentang kekuasaan saat ini juga diragukan oleh Gaffar.
Menurutnya, partai politik yang tidak mendukung pasangan calon presiden terpilih biasanya akan menggaungkan protes saat mereka ingin mendapat bagian dalam kabinet.
“Mereka tidak sungguh-sungguh beroposisi, tidak sungguh-sungguh menentang kekuasaan. Mereka meributkan kekuasaan hanya untuk meminta bagian. Bila sudah mendapat bagian, (dan) mendapat konsesi (keinginan) mereka kan selesai. Targetnya bukan untuk membangun,” ungkapnya.
Meski demikian, ia tetap yakin bila masih banyak rakyat Indonesia yang siap membangun gerakan bersama untuk menjaga demokrasi.
Karena satu-satunya cara untuk menjaga sistem demokrasi tetap kuat adalah memiliki tim oposisi yang kuat dan nyata.
“Poin yang saya tekankan, seharusnya rakyat banyak itu oposisi pada kekuasaan, dalam tanda kutip mengawasi kekuasaan. Jadi tidak sekedar memuji-muji pemerintah,” ungkap Gaffar.
Sistem Presidensial Yang Tidak Menguntungkan Oposisi
Menurut Gaffar, sistem pemerintahan presidensial yang dipakai saat ini membuat keberadaan partai-partai oposisi tak berdaya.
Karena seluruh partai politik yang berlaga untuk memenangkan kursi di DPR dan DPRD menjadi satu bagian yang sama dengan partai-partai pendukung presiden terpilih.
“Jadi di Indonesia kalau partai menyebut mereka oposisi itu karena mereka tidak diajak masuk ke kabinet. Presiden bisa saja memberikan kursi ke partai itu dalam kabinet kan. Terbukti tempo hari satu per satu Jokowi memberikan kursi itu kepada partai-partai meskipun berseberangan dengannya. selesai,” tandasnya.