AMERIKA SERIKAT – Sejak bulan Juni tahun lalu, orang-orang Nigeria kesulitan mengakses salah satu platform media sosial, Twitter. Kesulitan ini diakibatkan pemerintah setempat yang mengenakan larangan kepada platform tersebut setelah mereka menghapus sebuah tweet dari Presiden Muhammadu Buhari.
Tweet tersebut diketahui membicarakan hukuman untuk orang-orang yang mendukung pemisahan (secessionist). Akibatnya, pejabat setempat menuduh mereka memihak kepada orang-orang tersebut.
Akan tetapi, pihak pemerintah mengatakan bahwa mereka telah mencabut larangan tersebut setelah Twitter setuju dengan sejumlah kondisi yang diberikan, termasuk membuka kantor di Nigeria.
Lebih lengkapnya, berdasarkan pernyataan pemerintah, Twitter telah setuju untuk mendaftarkan diri di Nigeria di kuartal awal tahun 2022, menunjuk seseorang untuk menjadi representatif negara, tunduk pada kebijakan pajak, mendaftarkan Nigeria di situs mereka, serta bertindak dengan hormat terhadap hukum Nigeria.
Mengenai hal tersebut, Twitter tidak menyatakan secara terang-terangan bahwa mereka setuju, namun membuat tweet bahwa mereka “senang” dan “sungguh-sungguh berkomitmen dengan Nigeria”.
Langkah ini membuat jutaan orang dari negara Afrika terpadat itu untuk kembali menggunakan Twitter.
Sebelumnya, sebagian dari mereka tetap dapat menggunakan platform ini dengan bantuan VPN, dan sebagian lainnya seperti perusahaan, organisasi, dan media tetap mengikuti perintah pemerintah.
Akibatnya, menurut para analis, sektor ekonomi Nigeria ikut terdampak hingga jutaan dolar Amerika, mengingat banyak pelaku bisnis yang menggunakan Twitter untuk berhubungan dengan pembeli mereka.
Pelarangan ini memicu kecaman internasional atas kebebasan berbicara di Nigeria. Pemerintah setempat bahkan memerintahkan penyedia internet untuk memblokir Twitter, menuduhnya sebagai media yang digunakan untuk merusak “keberadaan perusahaan Nigeria” melalui penyebaran berita palsu yang berpotensi memiliki “konsekuensi kekerasan”.
Sementara itu, Twitter cukup populer di kalangan orang-orang Nigeria. Mereka menggunakan platform ini sebagai alat mobilisasi.
Para aktivis menggunakannya untuk menggalang dukungan selama protes terhadap kebrutalan polisi dengan menggunakan tagar #EndSars yang kemudian berhasil mendapatkan perhatian global.
Sumber: BBC