21.7 C
Indonesia

The Economist: Lagi, Politik Indonesia Kini Jadi Urusan Keluarga

Must read

Sumber Foto: The Economist

LONDON – Indonesia disebut mengalami titik balik saat Joko Widodo terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia di tahun 2014 lalu. Demikian ulasan yang dimuat oleh The Economist edisi 3 Desember 2020 kemarin yang secara khusus menyebutkan artikelnya bernama “Son Set”.

Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Jokowi adalah salah satu presiden yang sangat unik karena berasal dari kalangan biasa. “Ini adalah pertama kalinya seseorang yang bukan dari elit politik atau militer memimpin negara,” tulisnya lagi.

Media asal London tersebut dengan gamblang mengingatkan Jokowi tentang janjinya yang tidak akan membawa para politisi pemula dari keluarganya bersamanya. Sumpah tersebut Jokowi catatkan dalam otobiografinya yang diterbitkan pada tahun 2018 yang isinya adalah “menjadi presiden tidak berarti menyalurkan kekuasaan kepada anak-anak saya”.

Baca Juga:

Namun sejak terpilih kembali tahun lalu, Jokowi tampak berubah pikiran. Baik putra maupun menantunya, keduanya tidak memiliki pengalaman politik kini justru mencalonkan diri dalam pemilihan daerah pada 9 Desember di bawah bendera partai Jokowi, yakni PDI Perjuangan.

Putranya, Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai Walikota Surakarta, sebuah posisi yang menjadi landasan peluncuran politik ayahnya. Posisi Gibran berada jauh di depan lawannya dalam pemungutan suara yang jatuh pada tanggal 9 Desember nanti.

Tingkat keterpilihan Gibran dalam poling mendahului lawannya. Tapi dalam hasil pilkada nanti diperkirakan lebih rendah karena virus corona.

Hal ini dianggap tidak biasa karena sejak awal Jokowi sudah menolak akan memuluskan jalan bagi keluarganya untuk maju di bidang politik.

Dalam pandangan The Economist, sejak munculnya era demokrasi pada tahun 1998, dan pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah tidak lama setelah itu, para politisi berupaya untuk mendirikan dinasti. Semakin banyak diantaranya yang melakukannya di tingkat lokal.

Disebutkan bahwa dalam pemilu di tahun 2015, 52 kandidat, atau 3{449fde34b18ca6505a303acf59cd2914251092e879039fa6b1605563bfad8ebc} dari total, terkait dengan politisi yang saat ini atau sebelumnya memimpin kabupaten (kabupaten), kota atau provinsi. Hal tersebut diuangkapkan oleh Yoes Kenawas, yang mempelajari politik dinasti di Indonesia

Menurutnya, dalam pemilihan umum daerah minggu depan, hampir jumlah calon walikota dan calon bupati tiga kali lebih banyak atau sekitar 10{449fde34b18ca6505a303acf59cd2914251092e879039fa6b1605563bfad8ebc} dari total kandidat memiliki koneksi dengan keluarga.

Putra dan menantu Jokowi bukan satu-satunya orang yang memiliki ikatan dengan istana kepresidenan yang terlibat dalam keributan. Putri wakil presiden yang mencalonkan diri sebagai walikota Tangerang Selatan, kota yang berbatasan dengan Jakarta, ibu kota, bersaing dengan keponakan menteri pertahanan. Di Jawa Timur, putra sekretaris kabinet Jokowi yang berusia 28 tahun mencalonkan diri sebagai bupati.

Ini adalah pertama kalinya begitu banyak kerabat tokoh nasional yang mencalonkan diri dalam pemilihan lokal, menurut Yoes. Banyak dari tokoh nasional itu sendiri berasal dari dinasti yang sudah ada dari sebelumnya. Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, sudah lama menikah dengan putri Soeharto, diktator Indonesia selama 31 tahun. Suharto berkuasa dengan menggulingkan Sukarno, presiden pertama Indonesia. Putri Sukarno, Megawati Sukarnoputri menjadi presiden dari 2001 hingga 2004 dan tetap menjadi ketua PDI Perjuangan.

Masyarakat Indonesia sangat kecewa dengan situasi tersebut. Di tahun 2015 DPR mengeluarkan undang-undang yang melarang kerabat petahana mencalonkan diri sebagai bupati, walikota atau gubernur. Undang-undang tersebut dianggap tidak konstitusional oleh pengadilan dan dibatalkan pada tahun itu juga, namun ketidaksukaan publik tetap ada: hampir 61{449fde34b18ca6505a303acf59cd2914251092e879039fa6b1605563bfad8ebc} dari mereka yang disurvei pada bulan Juli oleh Kompas tidak menyetujui kerabat politisi yang mencalonkan diri di daerah.

Namun, para politisi terus berusaha untuk mendapatkan kekuasaan dalam keluarga mereka. Hal tersebut seringkali terjadi karena peluang untuk menghasilkan uang yang datang dengan jabatan politik terlalu bagus untuk ditolak. Partai politik tidak berbuat banyak untuk mencegah nepotisme. Bagaimanapun, mereka digerakkan oleh kepribadian, bukan oleh kebijakan, kata Ben Bland dari Lowy Institute, sebuah wadah pemikir di Australia. Oleh karena itu, mereka membutuhkan politisi yang dikenal karena dekat atau memiliki kekerabatan dengan seseorang agar menang di Pilkada. Atau istilah lainnya adalah lebih baik mencalonkan saudara sendiri sebagai kepala daerah dari pada orang yang tidak dikenal.

Ditambah lagi, para kandidat harus menanggung biaya kampanye yang semakin tinggi. Oleh karena itu, partai membutuhkan kandidat yang berkantong tebal atau orang-orang yang punya uang. Biaya pencalonan jabatan yang mahal membuat mereka yang tidak memiliki sarana atau “koneksi dengan jaringan patronase yang mapan untuk menang”, kata Vedi Hadiz dari Universitas Melbourne di Australia.

Terserah publik Indonesia yang “cerdas dan arif” untuk memutuskan apakah putranya cocok untuk jabatan itu”, kata Jokowi kepada BBC awal tahun ini.

Tetapi biaya kampanye yang tinggi dan banyaknya kandidat yang memiliki hubungan baik berarti bahwa semakin banyak dari mereka yang mencalonkan diri untuk jabatan tersebut berasal dari latar belakang yang sama, menampi pilihan yang tersedia bagi para pemilih. Tak diragukan lagi, banyak calon politisi yang menolak mengadu domba diri mereka sendiri dengan lawan yang didukung oleh keluarga yang kuat.

Contohnya Gibran. Ia mengambil risiko lari tanpa lawan yang akan menggarisbawahi persepsi bahwa Ia meluncur pada reputasi ayahnya. Secara heroik, seseorang melemparkan topinya ke dalam ring di menit-menit terakhir:
Bagyo Wahyono, seorang penjahit yang menjadi salah satu Calon Walikota Solo menyaingi Gibran mengatakan bahwa Ia tidak punya keinginan untuk mencalonkan diri dalam pemilu.

“Saya sebenarnya tidak suka politik,” katanya pada majalah lokal.

Ketua organisasi yang mendanai kampanye Bagyo menyangkal tuduhan bahwa Bagyo adalah “boneka” dari PDI Perjuangan yang dibuat untuk memastikan Gibran tetap terlihat memiliki pesaing. Jika pemilih yang cerdas dan arif meragukan hal itu, tidak jelas bagaimana mereka dapat mengekspresikannya.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru