AFGHANISTAN – Perubahan iklim telah mengubah kondisi alam Afghanistan. Penduduk setempat mengeluhkan kondisi kawasan mereka yang tandus sehingga harus berjuang lebih keras untuk bertahan hidup.
Kekeringan yang terjadi berulang kali membuat warga Afghanistan lari ke negara-negara tetangganya seperti Iran atau bila memang harus tinggal di Afghanistan, mereka memilih untuk pergi ke kamp-kamp pengungsi di negara tersebut.
“Saya ingat dari masa kecil saya … ada banyak salju di musim dingin, di musim semi kami banyak hujan,” kata Abdul Ghani (53) seorang pemimpin masyarakat setempat di desa Sang-e- Atash, di provinsi Badghis yang dilanda bencana seperti dirilis oleh DW pada Sabtu (25/12).
“Namun, sejak beberapa tahun lalu ada kekeringan, tidak ada salju, apalagi hujan. Bahkan tidak mungkin untuk mendapatkan satu mangkuk air dari pipa saluran air hujan untuk digunakan,” katanya.
Abdul mengatakan saat ini Ia tengah bersama dengan para petani yang panennya gagal. Mereka tengah menanti pembagian makanan darurat yang dibagikan oleh organisasi Bulan Sabit Merah di Afghanistan.
Tahun kedua kekeringan yang parah melanda Afganistan telah memperburuk situasi di negeri itu. Banyak orang putus asa karena perang selama empat dekade.
Tak hanya itu, warga Afghanistan juga harus menghadapi pandemi virus corona dan krisis ekonomi menyusul pembekuan aset internasional setelah Taliban merebut kekuasaan pada pertengahan Agustus.
Ancaman bencana kemanusiaan
Saat ini di Afghanistan jutaan orang tidak dapat menafkahi diri mereka sendiri. Bagi banyak keluarga di daerah Sang-e-Atash, bantuan Bulan Sabit Merah adalah satu-satunya penyelamat mereka saat musim dingin.
Kepala Organisasi Bulan Sabit Merah untuk Afganistan barat, Mustafa Nabikhil, mengatakan 558 keluarga telah menerima bantuan makanan selama tiga hari, berupa tepung, beras, kacang-kacangan, minyak goreng, gula, garam, teh, dan biskuit berkalori tinggi yang diperkaya vitamin.
Petani Badghis sangat rentan karena wilayah tersebut tidak memiliki sistem irigasi, sehingga membuat mereka bergantung pada cuaca, kata Nabikhil. Jika hujan, mereka akan makan dan sebaliknya.
“Tidak ada solusi, kami hancurkan saja,” kata Ghani.
“Kami tidak bisa pergi ke mana pun, ke negara asing. Kami tidak punya uang. Kami tidak punya apa-apa. Pada akhirnya kami harus menggali kuburan sendiri dan mati,” ungkapnya.
Necephor Mghendi, Kepala Delegasi Afghanistan dari Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, mengatakan kekeringan menyebabkan kekurangan yang mengkhawatirkan.
Karena sekitar 22,8 juta orang atau lebih dari 55% populasi di Afghanistan mengalami kekurangan pangan akut.
Kekeringan parah telah mempengaruhi lebih dari 60% provinsi di Afghanistan. Seluruh provinsi di Afghanistan terpengaruh oleh kondisi ini karena kekeringan terus melanda tanpa henti.
“Jika tindakan tidak segera diambil, akan terjadi bencana kemanusiaan,” katanya.
“Ini bisa dibilang krisis kemanusiaan terburuk di dunia saat ini,” katanya.
“Kami tidak punya apa-apa,” kata Juma Gul, 45, salah satu dari banyak orang yang terlantar akibat kekeringan.
Juma Gul duduk di klinik kesehatan keliling Bulan Sabit Merah di luar ibu kota provinsi Badghis, Qala-e-Now. Dengan sembilan anak dan seorang suami yang tidak dapat mencari pekerjaan, keluarganya bertahan hidup dari pinjaman uang yang pemilik toko.
“Terkadang kami memiliki makanan dan terkadang tidak. Kami hanya makan roti kering dan teh hijau. Kami tidak bisa membeli tepung atau beras karena terlalu mahal,” ungkap Juma Gul.
Di desa Hachka di luar Qala-e-Now, petani Abdul Haqim mengamati ladangnya yang tandus. Angin sedingin es menyapu celah-celah tanah yang retak. Dulu Dia bisa menanam gandum dan menghidupi keluarganya . Sekarang, tidak ada ada yang bisa mereka tanam di sana.
“Tidak ada hujan, hanya kekeringan,” katanya.
Banyak orang di desanya, termasuk tiga putranya yang sudah dewasa, telah pergi ke Iran. Saat ini Juma Gul tengah mempertimbangkan untuk mengirim anaknya yang keempat, meskipun bocah itu baru berusia 12 tahun. Itulah satu-satunya cara agar keluarganya dapat bertahan hidup.
“Temanku, orang-orang meninggalkan wilayah ini. Beberapa orang bahkan pergi meninggalkan anak-anak mereka,” katanya.
Pandangan para ahli
Para ahli memperkirakan perubahan iklim akan membuat kekeringan semakin sering dan parah di Afghanistan. Mereka telah memperingatkan hal ini sejak bertahun-tahun yang lalu.
“Perubahan iklim di Afganistan bukanlah risiko masa depan ‘potensial’ yang tidak pasti, tetapi ancaman yang sangat nyata saat ini yang dampaknya telah dirasakan oleh jutaan petani dan penggembala di seluruh negeri,” kata laporan tahun 2016 yang dikeluarkan Program Pangan Dunia, Program Lingkungan PBB dan Badan Perlindungan Lingkungan Nasional Afghanistan.
Kekeringan saat ini adalah yang terburuk dalam beberapa dekade
“Pengaruh perubahan iklim dan pemanasan global di Afganistan sangat jelas,” kata Assem Mayar, pakar pengelolaan sumber daya air dan kandidat PhD di Universitas Stuttgart.
Selama dua dekade terakhir, lanjut Assem Mayar, 14% gletser di Afghanistan telah mencair. Sementara itu frekuensi kekeringan meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan dekade terakhir abad ke-20.
Frekuensi dan intensitas banjir juga meningkat. Peristiwa lain yang terjadi adalah pergeseran musim dari salju di awal musim dingin menjadi hujan di musim semi.
Assem Mayar mengatakan kondisi ini mengganggu keseimbangan air di Afghanistan karena salju, pada dasarnya, bertahan lebih lama dari pada air hujan, yang keluar dari negara itu dalam 2-14 hari, jelas Mayar.
Afganistan juga kekurangan tempat penampungan air, yang ukurannya 10 kali lebih kecil dari negara-negara tetangga.
Pemerintah sebelumnya menyusun strategi manajemen risiko kekeringan, kata Mayar, tetapi dengan pergantian pemerintahan pada Agustus lalu, semuanya terhenti.