PAPUA – Memaksakan otonomi khusus Papua jilid dua hanyalah bom waktu yang akan memunculkan konflik horizontal di masa depan. Membangun stigma tidak percaya terhadap putra putri terbaik Papua untuk menjaga wilayahnya sendiri justru akan menambah kericuhan di tanah yang kaya akan emas namun berpenduduk paling miskin nomor 2 di Indonesia itu.
“Kami melihat sudah terbentuk basis-basis bom waktu yang akan melahirkan konflik horizontal,” ujar Penanggung Jawab Forum 57 Pastor Katolik Pribumi dari lima Keuskupan Se-Regio Papua di Tanah Papua, Pastor Alberto John Bunay dalam keterangan yang diterima redaksi, Rabu (22/7).
Hal yang mungkin memunculkan konflik horizontal sebagaimana yang dimaksud oleh Pastor Alberto adalah munculnya barisan massa yang membawa nama Islam di Tanah Papua. Ia yakin akan muncul permusuhan antara anak Papua dengan pendatang yang mengakui dirinya sebagai penjaga di tanah mereka atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Menurut kami secara tidak langsung dalam diri mereka telah dibangun sikap benci dan tidak percaya antara anak Papua yang Muslim sebagai NKRI, sementara anak Papua Kristiani bukan NKRI,” jelasnya.
Agar tersebut tidak terjadi, Penanggung Jawab Forum 57 Pastor Katolik Pribumi dari lima Keuskupan Se-Regio Papua di Tanah Papua, Pastor Alberto John Bunay menyuarakan agar jangan sampai Orang Papua Asli justru punah dari kampung halamannya sendiri karena kepentingan politik orang tertentu di Tanah Papua.
“Kami pastor pribumi bersuara, bukan untuk kami, tetapi untuk anak cucu, suku bangsa Papua-Melanesia, agar jangan sampai manusia hitam kulit dan rambut keriting yang juga merupakan citra Allah ini punah di atas tanah leluhurnya,” tegas Pastor Alberto.
Pastor Alberto akui selama ini masih tersimpan amarah dan luka derita oleh warga pribumi Papua atas otonomi khusus yang tidak mengutamakan dan menguntungkan mereka. Agar amarah tersebut tidak diwariskan ke anak cucu Papua, Ia meminta agar pemerintah Indonesia menghentikan aksi kekerasan yang menyudutkan orang Papua. Termasuk isu HAM yang merugikan perempuan Papua yang diperkosa dan disiksa, sementara pria-nya justru ditangkap, dipanggil monyet, ditahan dan dituduh melakukan tindakan makar dan dibunuh.
“Kami tidak mau diperlakukan tidak adil di atas Tanah Kami sendiri. Cukup sudah air mata dan darah yang tertumpah di pangkuan mama bumi atau tanah warisan leluhur kami. Agar tidak terjadi konflik lagi, maka kami meminta pemerintah pusat jangakn paksakan otonomi khusus jilid Ii,” jelasnya.
“Kami di Papua Merindukan kehadiran kembali Bapak Gus Dur, sosok Bapa yang mengenal kami, mengerti kami, mau mendengar kami, memiliki seni komunikasi yang sangat humanis. Kami tidak butuh militer dengan Kekerasan, apalagi suka memaksakan kehendak tanpa bermusyawarah menuju mufakat,” tegas Pastor Alberto.
Pastor Alberto juga meminta agar pemerintah mengakhiri konflik yang ada di Tanah Papua lewat cara dialog. Karena, sejauh yang mereka lihat, dengar dan ikuti di media sosial, semua elemen masyarakat akar rumput di Papua meminta pemerintah Indonesia untuk berdialog dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang di mediasi dengan pihak ketiga yang netral sebagaimana yang pernah dilakukan di Aceh bersama Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Kami sangat yakin Dialog tidak akan membunuh, dialog tidak menyakitkan dan dialog tidak membuat kita menjadi bodoh. Sebaliknya, bila kita menggunakan cara-cara kekerasan maka akan selalu akan meninggalkan luka lahir dan batin.
Apapun alasannya, membunuh adalah salah dan dosa,” tukasnya.
Semua Orang Harus Belajar Tentang Sejarah Integrasi Papua-Indonesia
Pastor Alberto mengatakan bahwa pelanggaran HAM di Papua dapat dihentikan bila semua orang memahami sejarah integrasi antara Papua dan Indonesia. Dari sana akan terjadi pengurangan aksi diskriminasi dan marginalisasi orang Papua di tanahnya sendiri.
Secara permanen, Ia percaya kegagalan pembangunan yang meliputi pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan tidak akan terjadi lagi bila pendekatan dialog dijadikan sebagai kebijakan baru dalam membangun Papua yang stabil dan sejahtera, bukan meredam isu dengan kekerasan dan menambah pasukan.
Sebelum memutuskan untuk melakukan otonomi khusus di Papua, Pastor Alberto meminta agar pemerintah menyelidiki hasil pembangunan selama otonomi khusus berlaku, yakni berkisar di antara tahun 2001 – 2021. Sehingga, desakan Forum 57 Pastor Katolik Pribumi dari lima Keuskupan Se-Regio Papua di Tanah Papua agar Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua dan Papua Barat mengadakan musyawarah bersama dapat terlaksana.
“Agar dalam musyawarah bersama tersebut masyarakat atau Orang Asli Papua dapat berbicara bersama, merumuskan hal-hal mendasar bersama dan mengambil, sikap bersama terhadap hak-hak mendasar dalam memajukan Orang Asli Papua di Tanah leluhurnya,” jelas Pastor Alberto.
Pemikiran Transformatif Menuju Indonesia Raya Dan Papua Yang Damai Sejahtera
Agar perdamaian terjadi, Pastor Alberto meminta agar pihak Indonesia dan Papua dapat membangun kesepahaman dengan menjunjung tinggi nilai kehidupan yag ada di Bumi Papua.
Segenap manusia yang hidup di negeri itu, lanjutnya, baik dari entitas budaya dan suku bangsa mana pun, harus bertekad untuk berhenti saling menindas dan saling membantai.
Pastor Alberto juga berharap pemerintah mengakui dan menjunjung tinggi harkat, derajat dan martabat Orang Asli Papua sebagai tuan di atas tanahnya sendiri. “Karena itu, orang Papua harus memimpin Negerinya sendiri. Harus ada kebebasan
yang bertanggungjawab di tangan rakyat Papua atas negerinya dan atas hubungannya dengan saudara angkatnya Indonesia,” jelasnya.
Memberikan Kebebasan Referendum Bagi Papua
Forum 57 Pastor Katolik Pribumi dari lima Keuskupan Se-Regio Papua di Tanah Papua meminta agar pemerintah membuat suatu keputusan Politik yang spektakuler dan sangat prestitusius untuk memberikan kesempatan referendum bagi Papua.
Pemerintah juga diminta untuk menerima hasil apapun dari Referendum Papua itu, dan akan membantu sepenuhnya pembenahan Papua pasca keputusan politik hebat semacam itu.
Dengan keputusan itu, Pastor Alberto juga meminta agar pemerintah tidak membawa isu referendum ini hanya sebatas pada untung dan rugi atas sumber daya alam Papua saja. Sementara masyarakatnya hidup dalam kemiskinan yang tak kunjung henti selama bertahun-tahun.
“Bila dari hasil Referendum yang digelar dengan jujur dan adil itu ternyata mayoritas rakyat Papua memilih Merdeka, maka merdekalah Papua, dan di sana pemerintah Indonesia tetap ada bersama Papua untuk membawa Papua sebagai pemimpin di Melanesia mencapai zaman keemasan pasifik,” tukasnya.