YOGYAKARTA – Festival Bedhayan ke-3 sukses terlaksana pada Minggu (14/5) dengan menampilkan 12 kelompok penari yang membawakan kisahnya masing-masing.
Acara dibagi menjadi tiga sesi, dengan satu sesi diisi oleh empat kelompok penari yang tampil selama sekitar 15–20 menit di hadapan para penonton serta sembilan pengamat budaya keraton dan akademisi.
Diadakannya penampilan per sesi ini menjadi format yang membedakan festival kali ini dengan dua festival sebelumnya, serta bertujuan agar penonton tidak mudah jenuh.
Beberapa kelompok mengusung bedhayan pelestarian, sementara yang lain menyajikan bedhayan pengembangan.
Penasaran dengan makna setiap tarian yang disajikan? Simak penjelasannya di bawah ini!
Swargaloka pimpinan Bagaskoro menjadi yang pertama membawakan bedhayan dalam acara tersebut. Mereka membawakan bedhayan angger-angger sewelas.
Tarian tersebut berisi ajaran moral dari Raden Gunung, yang jika dilaksanakan akan membuat orang tersebut meninggalkan nama baik ketika wafat dan selamat dunia-akhirat.
Penampilan kedua, bedhayan bumi pertiwi, dibawakan oleh Jaya Suprana School of Performing Arts yang dipimpin oleh Aylawati Sarwono.
Tarian ini mengungkapkan rasa cinta seseorang terhadap Indonesia yang indah permai, yang kemudian menggugah tekad dan semangatnya untuk menjaga dan melestarikan Bumi Pertiwi.
Tarian ketiga datang dari kelompok Ohmm Adyasa Abirupa, yakni bedhayan asthadikpalaka.
Tarian ini diciptakan secara khusus oleh Bambang Priantoro, atau yang lebih dikenal sebagai Bai Soemarlono, sebagai monumen hidup untuk memperingati usianya yang menginjak 60 tahun.
Diinisiasi pada akhir tahun lalu, karya yang satu ini memiliki format bedhayan yang di dalamnya memuat filosofi mengenai penciptaan, diawali dengan adanya suatu daya dari berbagai penjuru serta prosesnya dalam menciptakan suatu karya.
“Asthadikpalaka sebagai konsepsi dasar diambil dari paham deitis Hindu Buddha mengenai delapan Dewa penjuru mata angin. Sementara filosofi penunjang lainnya menggunakan paham Samkhya Yoga (purusha, prakerti, pradana),” demikian penjelasan tarian tersebut.
Menutup sesi 1 pertunjukan Festival Bedhayan ke-3 adalah tari bedhayan kusumaningtyas yang dibawakan oleh jurusan tari ISI Yogyakarta.
Ditarikan oleh para dosen, tarian ini menggambarkan wanita-wanita yang tangguh dalam menghadapi segala tantangan, penuh dengan kesabaran, ketegaran, dan keikhlasan dalam memberikan ilmunya untuk menghasilkan yang terindah.
Sesi kedua rangkaian acara dibuka dengan tari bedhayan ajanggayung oleh The Ary Suta Center Dancer Academy.
Tarian ini tak lain adalah sebuah kidung perkawinan, adalah mantra penyatuan rasa untuk kebahagiaan kehidupan perkawinan.
Tarian ini menggambarkan bahwa, dalam kehidupan perkawinan, antara pria dan wanita harus saling menghormati dan menghargai serta berbagi suka dan duka.
Meskipun kerap terjadi konflik di dalam rumah tangga, semua dapat diselesaikan dengan penuh kesadaran dan menjadikannya kebahagiaan.
Pertunjukan dilanjut dengan penampilan bedhayan wulangreh oleh Wulangreh Omah Budaya, yang mencerminkan sebuah ajaran luhur untuk menuju kesempurnaan hidup.
“Dalam tarian ini diungkapkan secara simbolik ajaran tentang berperilaku baik dalam kehidupan, yang menyiratkan hubungan baik antara manusia dengan manusia, juga hubungan yang harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta.”
Setelahnya adalah bedhaya mangesti luhur yang dibawakan oleh Gladhi Beksan Fakultas Kedokteran (GBFK) UNS.
Tarian tersebut menggambarkan kridha civitas academica UNS dalam menjalankan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Sesi ini, yang berakhir ketika senja mulai menyapa, ditutup dengan penampilan bedhaya bedhah Madiun oleh Mitra Tari Hadiprana.
Tarian itu memiliki sejarah yang penting, karena diciptakan langsung oleh Mangkunegara VII dengan bantuan permaisuri Kanjeng Ratu Timur dari Keraton Yogyakarta.
Bedhaya bedhah Madiun mengisahkan Panembahan Senopati Raya Mataram yang berhadapan dengan Retno Dumilah putri Adipati Madiun saat hendak memperluas jajahannya ke daerah tersebut.
Panembahan Senopati disebutkan menggunakan siasat bujuk rayu agar sang putri dapat ditaklukkan dan menjadi istrinya.
Sesi ketiga dimulai ketika matahari telah sepenuhnya berada di peraduannya, dengan penampilan bedhaya kirana ratih dibawakan oleh Sekar Puri.
Tarian ini menggambarkan para perempuan yang sedang berlatih memanah sebagai ungkapan keindahan dari kekuatannya yang tengah memperjuangkan kemandirian dan rasa percaya diri.
“Di sini panah bukan hanya sekadar senjata, tapi juga lambang penyampaian pikiran dan perasaan yang cepat dan tepat.”
Sesi ini dilanjut dengan bedhaya pangkur oleh Purwakanthi, yang telah dipadatkan menjadi hanya berdurasi 20 menit dari sebelumnya 1 jam penampilan oleh ISI Yogyakarta.
Tarian ini adalah karya Agung dari Raja PB IV dari Kasunanan Surakarta sehingga telah berusia 200 tahun.
Tarian sakral yang dibawakan oleh sembilan penari ini menceritakan keseimbangan hawa nafsu dan akal sehat manusia, dengan para penari menjadi manifestasi pengendali hawa nafsu itu sendiri.
Setelahnya ada penampilan dari Guntur Mataram yang membawakan bedhayan wonoasri.
Tarian ini menceritakan kisah pemindahan ibu kota yang menjadi tugas pertama Raden Tumenggung Pawiro Sentiko setelah dilantik oleh Sri Sultan Hamengku Buwana V.
Penampilan terakhir sekaligus penutup rangkaian acara disajikan oleh Santi Budaya “Hayuwerdhi”, yakni bedhaya murbeng rat.
Tarian ini diangkat dari sebuah konsep kehinduan, yakni tentang keagungan alam semesta sebagaimana terkandung dalam sloka Gayatri Manteram, yang mencakup alam bhur, bwah, swah.
“Ketiga alam tersebut masing-masing terkonsepsikan ke dalam tujuh lapisan alam dengan sebutan Sapta Pethala – Alam Bhur, Sapta Loka – Alam Bwah, dan Sapta Akasa – Alam Swah.”
Semua penampilan tersebut disaksikan langsung oleh para pengamat budaya keraton dan akademisi yang tampak sibuk menuliskan catatan demi catatan sepanjang acara.
Tujuannya adalah agar para penari dapat melakukan refleksi diri dan menampilkan yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Jika Anda berminat untuk menontonnya, Anda bisa langsung mengunjungi kanal YouTube Laskar Indonesia Pusaka untuk menyaksikan keseluruhan acara yang berlangsung selama lebih dari tujuh jam atau YouTube ohmm_yogya yang mengunggah video setiap penampilan tari bedhayan di acara tersebut.