JOGJAKARTA – Mahalnya harga tanah di Yogyakarta terjadi karena banyak pendatang berstatus mahasiswa ke Kota Gudeg ini.
Demikian dikatakan oleh Peneliti Made Supriatma dalam acara Talk Show ‘Bangjo Tugu‘ yang diunggah di akun media sosial Youtube pada Jumat (21/5) lalu.
Kita tahulah semua ya harga tanah di Yogya gila-gilaan. Bahkan saya dengan harga tanah di Jalan Gejayan ini Rp25 juta per meter,” katanya.
Kata Made, kedatangan para mahasiswa ini meningkatkan perekonomian kota Joga. Namun seiring dengan pertumbuhan masyarakat yang drastis, pembangunan infrastruktur perumahan dan transportasi justru turun sehingga berimbas pada buruknya manajemen tata air dan kebersihan kota.
Menurut Made, Jogja sama persis dengan Bali. Keberadaan masyarakat pendatang memang menghidupkan ekonomi dua kota ini. Namun kesadaran warga untuk hidup bermasyarakat justru semakin turun.
Sebagai kota pendidikan Jogja justru dinilai mulai berani menggeser kehidupan masyarakat miskin ke pinggiran dan menggantinya dengan budaya modern. Contohnya bar, kafe, dan tempat-tempat modern lainnya yang identik dengan budaya ‘nongkrong’ untuk anak muda.
“Ironis,” kata Made.
Pergeseran budaya yang sangat ekstrim ini dikritisi oleh Made. Identitas yang seharusnya dipertahankan oleh orang Jogja menurutnya juga harus dipertahankan juga oleh pendatang yang datang sebagai pemodal. Bukannya ikut-ikutan menggeser keberadaan perkampungan yang dulunya adalah kehidupan awal di Jogja.
Meski Sangar Tapi Jogja Tetap Indah
Kata Made saat ini Jogja semakin terpolarisasi karena banyaknya intelektual muda dan seniman kreatif di kota ini. Namun orang-orang cerdas yang ada dan hidup di kota ini justru membuat Jogja semakin tidak terkendali. Mengapa? karena keberadaan orang-orang ini ternyata tidak justru memperbaiki persoalan yang muncul.
Diantaranya buruknya sistem transportasi tidak bisa diselesaikan oleh para insinyur-insinyur cerdas yang tengah menempuh pendidikan atau yang hidup di kota Jogja. Tak hanya itu, Made juga mempertanyakan mengapa Jogja tidak memiliki infrastruktur perumahan yang mumpuni.
“Padahal sangat krusial,” jelasnya.
Mendepak masyarakat yang tinggal di perkampungan kumuh menurut Made bukan solusi yang tepat untuk dilakukan. Ia sangat berharap ada ahli yang mau merancang kota Jogja sebagaimana seharusnya. Salah satunya dengan menyediakan perumahan yang bersubsidi dan terintegrasi dengan transportasi.
“Pemerintah harus intervensi,” katanya lagi.
Kata Made, salah satu manajemen perumahan yang paling dicari saat ini adalah perumahan yang tidak memicu pertambahan jumlah mobil dan motor. Made heran karena Jogja sebagai kota para peneliti justru tidak mampu menghasilkan sebuah wacana pembangunan moda transportasi canggih yang bisa menyaingi kota Taipei di Taiwan.
Tak hanya itu, Ia juga mengkritisi para peneliti di Jogja yang tidak bisa menciptakan gagasan baru sistem tata air yang sesuai dengan wilayah Jogja. Made katakan bahwa saat ini air bawah tanah Jogja banyak habis untuk keperluan perhotelan. Dan Ia berharap persoalan ini jadi perhatian khusus para peneliti sehingga tiap individu bisa mendapatkan perumahan yang layak, tata air yang layak serta moda transportasi yang layak.
Pembangunan rumah susun berkualitas adalah salah satu solusi yang ditawarkan oleh Made. Ia percaya saat ini adalah momen yang tepat bagi masyarakat Jogja untuk belajar untuk hidup di rumah susun.
“Rumah susun nggak jelek kok. Rumah susun itu jauh lebih efisien baik daris egi listrik, air dan tata kelola kebersihan atau sampah,” ungkapnya.
Untuk Jogja, lanjutnya, Ia berharap orang-orang yang mampu mengkonversikan kebudayaan dengan perumahan segera muncul.