
JAKARTA – Penggunaan kompor induksi atau kompor listrik adalah salah satu program yang diunggulkan oleh Presiden Joko Widodo.
Cadangan listrik nasional yang telah mencapai angka 50 persen dijadikan alasan mengapa program ini harus terus dijalankan.
Disisi lain ternyata subsidi gas LPG impor telah mencapai angka Rp 50 triliun per tahun. APBN membengkak dan harus hemat.
Inilah alasan PT PLN Persero dalam mengambil keputusan. Namun, apakah kebijakan ini tepat?
Business Advisor Ronawati Wongso kepada The Editor mengatakan bahwa banyak pro dan kontra dalam kebijakan yang tengah dijalankan oleh PLN saat ini.
Dorongan agar masyarakat menggunakan kompor listrik sangat tidak bijaksana karena saat ini belum semua daerah di Indonesia terjangkau oleh listrik.
Dari data yang dilansir oleh Kementerian ESDM diketahui bahwa belum semua daerah di Indonesia mendapat pasokan listrik, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, bahkan Jawa Timur dan Sumatera Barat.
Di tahun 2020 lalu 433 desa diketahui belum teraliri listrik sama sekali. Desa-desa tersebut berada di Papua (325 desa), Papua Barat (102 desa), Nusa Tenggara Timur (5 desa) dan maluku (1 desa).
“Listrik membutuhkan daya lebih besar untuk memasak dari pada gas. Belum semua daerah di Indonesia terjangkau listrik,” ujar Rona, panggilan akrab wanita ini, Rabu (2/6).
Jadi, lanjutnya, pemerintah seharusnya berpikir sebelum memutuskan untuk mendorong penggunaan kompor listrik di Indonesia. Menurutnya infrastruktur listrik yang belum sempurna penyebab mahalnya biaya konsumsi listrik untuk memasak nantinya.
“Relatif lebih mahal biaya pakai listrik ketimbang gas,” jelas Rona.
Menurutnya, penggunaan gas pada rumah tangga jauh lebih efisien dan murah. Pemerintah memang perlu membangun infrastruktur pipa gas ke rumah-rumah warga. Investasi pembangunan awal pipa gas akan membutuhkan banyak dana namun investasinya hanya sekali. Apabila pemerintah mendorong penggunaan listrik untuk memasak di saat ketersediaan listrik sendiri masih terbatas dan mahal, maka yang terbebani justru masyarakat itu sendiri.
Perlu diketahui, investasi pembangunan infrastruktur untuk konversi sumber alam seperti gas, minyak, batu bara, angin, uap dan lain-lain menjadi listrik di PLN cukup besar. Dimana di tahun 2021 PLN siapkan rencana belanja modal pembangunan infrastruktur mencapai Rp 78,9 triliun, sementara di tahun 2020 lalu mencapai Rp 73,45 triliun dan di tahun 2019 mencapai Rp 94,75 triliun.
Investasi Pembangunan Awal Pipa Gas Mahal Tapi Hanya 1 Kali
Kata Rona, penggunaan pipa gas ke rumah-rumah penduduk bukan tren baru di Indonesia karena kota Rona dibesarkan yakni Surabaya telah dipasangi pipa gas hingga ke rumah-rumah penduduk sejak dahulu. Sayangnya sekarang pipa tersebut tidak lagi digunakan dan punah.
“Saya teringat waktu kecil rumah tangga mempunyai saluran gas dan memasak dengan kompor gas yang disalurkan dari pipa ke rumah. Dengan berjalannya waktu saluran pipa gas ke rumah punah dan digantikan oleh tabung gas LPG oleh Pertamina,” jelas wanita yang berhasil menyelamatkan PT Maspion dari badai krisis moneter di tahun 1998 lalu.
Katanya, pemerintah sudah saatnya memanfaatkan sumber daya alam Indonesia yang mudah dan murah. Penggunaan pipa gas dinilai lebih murah dan tidak merepotkan. Dengan biaya logistik yang lebih murah maka biaya penyaluran gas ke masyarakat akan lebih murah lagi dari saat ini.
Ronawati Wongso, CFA adalah konsultan bisnis dengan spesialisasi pengoptimalan laba dan turnaround perusahaan dengan pengalaman 30 tahun di berbagai perusahaan besar, https://rantaiconsulting.com/ . Beliau juga penulis buku bisnis “Company Makeover for Massive Profits”, buku panduan untuk meningkatkan laba secara masif.