19.5 C
Indonesia

Memahami Gangubai Kathiawadi, Ikon Distrik Merah Yang Jadi Simbol Perjuangan Wanita “Kalangan Bawah”

Must read

JAKARTA – Setelah melewati berbagai penundaan akibat satu dan lain hal, film “Gangubai Kathiawadi” karya Sanjay Leela Bhansali akhirnya resmi menyapa penggemar di seluruh dunia pada akhir bulan Februari lalu.

Saking ditunggu-tunggunya, film ini bahkan berhasil meraup lebih dari 70 miliar rupiah hanya dalam waktu 3 hari.

Selain itu, usai penayangan perdananya di Berlinale Ke-72 pada 16 Februari lalu, film ini juga dikucuri standing ovation dalam durasi yang mengagumkan.

Baca Juga:

Sungguh prestasi yang membanggakan.

Diangkat dari salah satu bab di buku Karya Hussain Zaidi yang berjudul “Mafia Queens of Mumbai”, film ini diyakini merupakan adaptasi kisah nyata sosok yang memperjuangkan hak-hak wanita pekerja prostitusi India pada periode 1950–1960an.

Ialah Gangubai atau Madam Gangu. Dalam bahasa setempat kala itu, bai adalah panggilan yang disematkan pada pemilik dan pemimpin rumah bordil di sana.

Tidak salah baca, Gangu yang kemudian menyuarakan hak-hak wanita pekerja seks adalah salah satu pemilik usaha itu sendiri.

Di Kamathipura, bertahun-tahun sebelum nama baiknya dipuja dan dipuji, Gangu adalah Ganga yang dibuang.

Nasib manusia jika terlalu mencintai manusia lainnya memang terkadang dapat berubah dalam kejapan mata.

Kehidupannya berubah usai ditukarkan dengan uang sebesar 1000 rupe, dijual ke salah satu rumah bordil di sana. Pelakunya adalah kekasih hatinya sendiri, Ramnik.

Namun dengan kekuatan cinta juga Gangu dapat menyetir nasibnya. Cinta pada 4.000 wanita pekerja seks Kamathipura yang menerangi gelapnya malam-malam di sisa kehidupannya.

Dalam porsinya sebagai sutradara, Bhansali terlihat sangat berusaha menampilkan sejumlah peristiwa penting Gangubai dalam perjuangannya memuliakan Kamathipura.

Atau setidaknya, membuat Kamathipura berada di posisi yang sama tingginya dengan kawasan-kawasan lain di seluruh India.

Sedikitnya ada 7 peristiwa penting sepanjang 157 menit film ini. Angka yang cukup banyak dan nampaknya membuat film ini “kerepotan” untuk menonjolkan esensi setiap peristiwa tersebut.

Alhasil, sebagai penonton, saya merasa hanya diperkenalkan sekilas dengan peristiwa-peristiwa tersebut. Rasanya seperti, “Ini loh peristiwa yang A, lalu lanjut ke B, …” dan bla bla bla.

Saya merasa hanya ada di permukaan. Ketika inti dari peristiwa itu sendiri baru mengetuk pintu hati untuk terenyuh, dia sudah berganti dengan perkenalan peristiwa yang lain.

Bagusnya, setiap peristiwa masih memiliki ikatan dan selipan-selipan yang diatur rapi dengan peristiwa yang lain, yang membuat penonton tidak tersesat.

Selain cara Bhansali dalam mengatur poin-poin perjuangan Gangubai, selebihnya adalah permainannya yang patut diacungi jempol.

Terlebih dalam memoles karakter Gangubai yang terlihat selalu nyaris meledak karena marah, kecewa, lelah, takut, ragu; namun kembali menemukan ketenangannya dan bermain pintar dalam langkah selanjutnya.

Satu-satunya puncak emosinya yang dapat saya rasakan adalah saat ia menari.

Pada malam festival yang diselenggarakannya di Kamathipura, bersama dengan beberapa wanita lainnya, Gangubai menari mengikuti tabuhan gendang.

Namun ia “kesetanan” pada pertengahan tarian tersebut. Lingkaran wanita yang ia pimpin pun hanya dapat memandang Gangubai dalam diam.

Semakin lama kamera mengikuti pergerakannya yang “mengamuk” dengan menebar serbuk berwarna merah-ungu, semakin keluar semua emosi yang dipendamnya selama ini.

Sama seperti manusia lainnya, Gangubai punya emosi dan batasnya.

Sama seperti manusia lainnya, Gangubai punya mimpi yang ingin diwujudkannya.

Namun mimpi itu terbuang ketika pertama kali menyetujui Ramnik untuk mendatangi Kamathipura.

Dan mimpi-mimpi lainnya selalu dibuangnya selama hidup di distrik tersebut, demi mimpi-mimpi mereka yang bahkan tidak tahu lagi caranya bermimpi.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru