JAKARTA – Saat ini pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air telah menyelesaikan pembangunan Bendungan Sepaku Semoi berkapasitas 2.500 liter/ detik, dan Intake Sungai Sepaku yang berkapasitas 3.000 liter/ detik.
Namun pemerintah diminta untuk paham bila Kalimantan selama hanya mengandalkan air tanah hujan, dan air yang mengalir dari hulu.
Sehingga musim kemarau yang lebih panjang dari musim penghujan maka jumlah air yang akan masuk ke waduk akan sangat terbatas jumlahnya.
“Harus jelas hitung-hitungan debit airnya. Walaupun saya bukan ahli geologi, pengaruh tanah akan mempengaruhi air,” ungkap Anggota Komisi IV Bidang Firman Soebagyo saat berbincang dengan Redaksi The Editor beberapa waktu lalu.
Kenapa Bisa Seperti Ini?
Kata Firman yang mengaku sudah beberapa kali berkunjung ke kawasan IKN, karakter tanah di Kalimantan Timur berbeda dengan di pulau-pulau lain di Indonesia.
Salah satunya adalah karakter tanah yang tidak bisa menyerap air, dan hanya mengandung unsur tambang mineral serta batubara.
Selama ini, lanjutnya, wilayah Kalimantan Timur mengandalkan air dari kawasan hutan.
Bila kawasan IKN Dibangun seperti sekarang, kata Firman lagi, maka otomatis pasokan air akan berkurang karena hutan menjadi gundul.
“Kalau kondisi tanaman hutannya yang sudah mulai gundul tentunya berbeda dengan harapan, dan keinginan atau gagasan bapak presiden. Tapi setidak-tidaknya ada cadangan mungkin tidak bisa maksimal,” ungkapnya.
Tak Tanya itu, Firman mengatakan bila musim kemarau di Kalimantan jauh lebih panjang ketimbang musim penghujan.
“Harus jelas hitung-hitungan debit airnya. Walaupun saya bukan ahli geologi, pengaruh tanah akan mempengaruhi air,” ungkapnya.
Solusinya?
Salah satu solusi yang diberikan oleh Firman adalah dengan memanfaatkan fungsi air laut melalui teknologi suling.
Namun biaya yang cukup tinggi harus digelontorkan oleh pemerintah untuk memproduksi air minum, dan air untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari di IKN.
“Kalau tidak memanfaatkan air laut untuk konsumsi seperti di Timur Tengah tapi biayanya mahal,” tutupnya.