KALIMANTAN – Kelompok peneliti Australia-Indonesia menemukan fosil manusia purba yang diduga adalah pasien amputasi pertama di dunia di Gua Liang Tebo, Semenanjung Sangkulirang Mangkalihat, Kalimantan Timur.
Dugaan tersebut muncul karena kaki kiri mulai dari lutut nya tidak ditemukan, namun terdapat bekas-bekas yang mengarah pada bukti pemotongan benda tajam.
Uji laboratorium menunjukkan bahwa kerangka itu berusia antara 31.133 sampai 30.437 tahun–20 ribu tahun lebih tua dari bukti amputasi tulang yang ditemukan sebelumnya di Prancis.
“Bekas potongan itu dinilai sangat berbeda dengan trauma dari kecelakaan atau diserang binatang. Pada tulang kaki ada bekas potongan yang bersih,” demikian penjelasan arkeolog, dikutip dari Good News From Indonesia.
Yang lebih menakjubkannya lagi, ada kemungkinan bahwa manusia purba tersebut tidak meninggal setelah proses amputasi.
Ia baru meninggal 6 sampai 9 tahun setelahnya–mengindikasikan bahwa praktis medis tersebut dilakukan saat ia masih kanak-kanak atau remaja.
Selain itu, hal ini juga mengarah pada baiknya pemahaman medis yang dimiliki komunitas purba tempat anak tersebut tinggal sehingga ia dapat bebas dari infeksi pasca amputasi.
“Tidak saja operasi dan kompleksnya memisahkan tulang kaki bagian bawah seorang anak, namun juga ada bukti mereka mengerti mengenai bagaimana mencegah terjadinya infeksi sehingga memungkinkan pasien tetap bertahan hidup,” kata Dr Maloney dari Griffith University di Queensland, Australia.
“Orang ini sangat dihargai di komunitasnya. Kecil kemungkinan dia bisa bertahan hidup tanpa perawatan yang bagus dari komunitasnya,” imbuhnya.
Penemuan ini kemudian dipublikasikan di jurnal Nature yang terbit pada Kamis (8/9) pekan lalu.
Gua Liang Tebo sendiri berada di kawasan gua kapur yang membentang seluas 4.200 kilometer persegi.
Berjarak 2,5 kilometer dari Sungai Marang, situs ini menyimpan banyak bukti peradaban kuno seperti lukisan, ceruk gua tempat permukiman, dan pemakaman.
Manusia Liang Tebo ditemukan terkubur meringkuk di kedalaman sekitar 150 meter.
Penemuannya menimbulkan tanda tanya bagi peneliti, mengingat mayat yang dikuburkan di kawasan ini umumnya rusak dengan cepat karena berbagai faktor, mulai dari keasaman tanah, kotoran kelelawar yang tinggal di dalam gua, serta iklim daerah tropis secara keseluruhan.