GREENLAND – Pada tahun 2006 lalu, sekelompok peneliti mengumpulkan sedimen dari Peary Land, Greenland, untuk diteliti. Baru-baru ini, hasil penelitiannya diterbitkan dalam jurnal Nature dan ternyata mengungkap sesuatu yang mengejutkan.
Sedimen tersebut mengandung DNA berusia dua juta tahun–menjadi DNA tertua di dunia yang pernah ditemukan, sekaligus menjadi jembatan bagi para peneliti untuk menengok kehidupan pada zaman tersebut.
Dalam laporannya, tim peneliti yang dipimpin oleh Eske Willerslev, ahli genetika evolusioner Universitas Cambridge, memaparkan bahwa hasil analisis DNA lingkungan (eDNA) memperlihatkan kondisi wilayah di masa lalu yang tidak setandus saat ini.
Daerah yang berupa gurun kutub di Greenland Utara itu dahulu adalah rumah bagi pepohonan rimbun dan beragam spesies binatang dengan suhu yang 11–19°C lebih hangat.
“Temuan yang paling mengejutkan adalah spesies Arktik hidup berdampingan dengan spesies beriklim sedang. Ekosistem ini tidak ada padanan modernnya,” ujar Willerslev, dikutip dari Vice.
Dilansir dari Merdeka, beberapa tumbuhan dan hewan yang dahulu hidup di sana saat ini ditemukan di lingkungan Kutub Utara, sementara yang lain hanya ditemukan di hutan boreal yang lebih beriklim sedang.
DNA yang ditemukan diduga terawetkan secara alami di lingkungan laut, setelah sebelumnya mengalir dari daratan melalui sungai.
Itulah mengapa para peneliti menemukan bukti kepiting tapal kuda—sebuah keluarga yang tinggal lebih jauh ke selatan saat ini—bersama DNA dari karibu.
Mereka juga menemukan bukti karang, semut, kutu, dan lemming. Sementara itu, tumbuhan yang mendominasi bentang alam ini termasuk willow dan birch, yang ditemukan di bagian selatan Greenland saat ini.
Ada juga pohon yang sekarang hanya ditemukan di hutan beriklim sedang, seperti poplar dan cedar, menurut penulis lain studi ini, Mikkel Pedersen, ahli geografi fisik di Universitas Kopenhagen.
Mengenai jauhnya jarak penemuan DNA dengan terbitnya hasil penelitian, Willerslev mengatakan bahwa hal itu dikarenakan terbatasnya teknologi yang ada.
“Setiap saat kami ada kemajuan dalam ekstraksi DNA dan merangkai teknologi, kami berusaha melihat kembali sampel-sampel ini, dan kami gagal dan gagal lagi,” jelasnya.
Timnya tidak kunjung dapat mengekstraksi DNA dari sampel sampai dua tahun lalu, ketika DNA tersebut telah rusak parah.
Meskipun begitu, mereka masih bisa membandingkan fragmen DNA dengan genom spesies modern.
Kesamaan dalam penguraian genom mengungkap beberapa spesies yang tertinggal dalam DNA tersebut merupakan nenek moyang spesies modern, seperti karibu modern.
Willerslev mengatakan bahwa mempelajari urutan genetik hewan purba ini dapat mengungkap cara adaptasi yang dapat membantu spesies Kutub Utara bertahan hidup saat ini karena perubahan iklim yang disebabkan manusia.