JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima estafet Presidensi G20 dari Perdana Menteri Italia Mario Draghi, akhir Oktober 2021 lalu, di La Nuvola, Roma, Italia. Tentunya ini menjadi kebanggaan bagi Indonesia.
Namun, pertanyaan yang paling penting, langkah apa yang akan dilakukan Jokowi dengan sematan predikat jabatan ini?
Sebetulnya tidak ada ketua tetap dalam G20. Fungsi kepemimpinan atau ketua dipegang oleh salah satu negara anggota G20 secara bergantian dari tahun ke tahun.
Ada presidensi, ada pula troika. Istilah troika ini merujuk pada negara-negara yang sedang menduduki posisi presidensi untuk saat ini, negara yang menjabat presidensi tahun sebelumnya, dan negara yang akan menjabat di tahun berikutnya.
Contohnya seperti ini. Pada tahun 2020, troika adalah Jepang (negara presidensi 2019), Arab Saudi (negara presidensi 2020), dan Italia (negara presidensi 2021).
Sementara itu, untuk 2022, troika adalah Italia, Indonesia, dan India (negara presidensi 2022).
Jadi sesungguhnya, posisi Jokowi mewakili Indonesia sebagai presidensi G20 untuk periode 2022 wajar saja karena sudah ditentukan pada tahun sebelumnya.
Kembali lagi menyoal inisiasi apa yang akan dibawa dalam presidensi Jokowi?
Dalam sambutannya, Jokowi mengungkapkan tema besar presidensi G20 Indonesia, yaitu Recover Together, Recover Stronger.
Tema ini antara lain menyangkut tentang pertumbuhan ekonomi yang terbuka untuk semua bangsa (ekonomi inklusif), perkembangan manusia, dan aktivitas pelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Program ini memerlukan kolaborasi antarnegara di dunia dan inovasi yang dimotori oleh negara-negara G20.
Pandemi covid-19 yang melanda seluruh dunia turut menyeret turun kondisi perekonomian di berbagai negara.
Meskipun demikian, dalam kondisi yang tidak mudah semacam ini, negara maju dan relatif stabil secara ekonomi diharapkan mampu memberikan bantuan kontribusi untuk negara-negara miskin.
Negara-negara miskin dan berkembang pun perlu dukungan G20 agar mampu memerangi pandemik covid-19 di negaranya.
Terkait dengan isu lingkungan, Jokowi mengharapkan Indonesia menjadi pelopor dunia dalam mengatasi dampak perubahan iklim, pengelolaan dan pemulihan lingkungan, dan memastikan no one left behind, atau tidak ada negara yang ketinggalan.
Mengungkap suatu visi memang lebih mudah dibandingkan dengan penerapannya. Presidensi G20 ini memang kebanggaan Indonesia, tetapi jangan lupa bila beban dan tanggung jawabnya adalah untuk berbagai negara di dunia.
Berat, iya. Penerapannya tidak mudah, iya.
Indonesia memang telah berhasil menekan deforestasi dalam dua dekade belakangan ini. Bahkan, Indonesia dapat menjalankan rehabilitasi hutan dalam dekade terakhir. Namun, apa langkah ini cukup?
Bagaimana cara Indonesia menularkan dan mendorong berbagai negara untuk melakukan aksi serupa dalam isu perubahan iklim? Ini poin pentingnya.
Net Sink Carbon dengan target 2030 dan Net Zero Carbon dengan pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan Utara pada 2060 terasa masih sangat jauh.
Mengacu pada presidensi G20 yang memiliki rentang waktu sekitar satu tahun, Indonesia perlu bergerak cepat. Indonesia perlu menelurkan berbagai inisiasi dan solusi dalam waktu singkat ini.
Targetnya pun program terkait isu perubahan lingkungan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara di dunia.
Lantas, apa yang akan dilakukan Jokowi untuk menjalankan program yang berorientasi pada pemulihan ekonomi akibat pandemi, isu perubahan iklim, serta ketahanan ekonomi inklusif? Kita masih menunggu.
Belum ada sebulan penetapan Presidensi G20, barangkali masih terlalu dini. Namun, waktu terus berjalan, ada agenda-agenda dalam negeri yang juga perlu diselesaikan. Jangan sampai visi Presidensi G20 ini terabaikan.