CHINA – Pasangan kekasih di China menjalani eksekusi hukuman mati atas tindak kejahatan yang mereka lakukan pada tahun 2020 lalu, yang memicu kemarahan nasional.
Keduanya dinyatakan bersalah karena membunuh anak-anak dari pernikahan pertama sang pria, Zhang Bo, di tempat tinggalnya yang berada di wilayah Chongqing.
Pembunuhan yang dilakukan dengan cara menjatuhkan anak-anak Zhang itu bertujuan agar keduanya dapat membangun keluarga baru.
Diberitakan CNN, Zhang awalnya berselingkuh dengan Ye Chengcheng dan menyembunyikan fakta bahwa ia telah menikah dan memiliki anak.
Menurut Mahkamah Agung China, setelah Ye mengetahui fakta itu, Zhang menceraikan istrinya.
Ye kemudian melihat kedua anak Zhang sebagai “penghalang” bagi mereka untuk menikah dan “beban bagi kehidupan mereka di masa depan bersama,” demikian bunyi dokumen pengadilan.
Ia berulang kali mendesak Zhang untuk membunuh anak-anaknya dan mengancam akan memutuskan hubungan mereka jika ia tidak melakukannya.
Setelah bersekongkol dengan Ye, pada November 2020, Zhang membunuh putrinya yang berusia dua tahun dan putranya yang berusia satu tahun dengan cara melempar mereka dari apartemennya di lantai 15 ketika keduanya sedang bermain di dekat jendela kamar tidur, menurut pengadilan.
Zhang dan Ye dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati pada Desember 2021.
Kantor berita Xinhua melaporkan, Mahkamah Agung Rakyat menyebut kejahatan yang dilakukan pasangan itu “sangat melanggar hukum dan moral” dan menyebut motif kriminal mereka “sangat tercela” dan berarti “sangat kejam”.
Berita tentang eksekusi mereka menarik ratusan juta penayangan di situs media sosial China, Weibo, dan menjadi topik trending teratas.
“Mereka pantas menerima hukumannya,” kata komentar teratas dengan 27.000 likes.
“Sungguh sangat memuaskan!” kata yang lain dengan 31.000 likes.
Sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2020 menunjukkan 68% warga China mendukung hukuman mati.
Akan tetapi, John Zhuang Liu, seorang profesor hukum di Universitas Hong Kong yang menulis makalah tersebut, mengatakan kepada CNN pada Kamis bahwa pandangan online mungkin tidak secara akurat mencerminkan opini publik China.
Studinya menunjukkan bahwa masyarakat China yang mengekspresikan pandangan politiknya secara online cenderung menunjukkan dukungan yang lebih besar terhadap hukuman mati.
“Kami tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang pandangan masyarakat umum mengenai hukuman mati di China, dan kami tidak memiliki saluran pengumpulan data yang ketat,” katanya.
Makalah tahun 2020 ini didasarkan pada data nasional terakhir yang dikumpulkan pada tahun 2013.
“Kami tidak tahu apakah pandangan masyarakat telah berubah sejak saat itu,” katanya.
China tidak memberikan informasi yang transparan mengenai jumlah total eksekusi, namun negara ini diyakini sebagai “algojo terbesar di dunia” dengan ribuan orang dieksekusi dan dijatuhi hukuman mati setiap tahunnya, menurut kelompok hak asasi manusia Amnesty International.
Eksekusi yang dilaksanakan pada Rabu (31/1) itu juga menyoroti metode utama yang digunakan di China untuk melaksanakan hukuman mati: suntikan mematikan.
“Pada dasarnya ini adalah eutanasia. Mereka melakukannya dengan mudah,” demikian komentar di Weibo yang mendapat 20.000 suka.
Beberapa pihak menyoroti eksekusi narapidana Alabama, Kenneth Smith, yang menggunakan gas nitrogen baru-baru ini, sebuah metode baru yang menurut para ahli dapat menyebabkan rasa sakit yang berlebihan atau bahkan penyiksaan.
Eksekusi tersebut dipuji oleh beberapa pengguna media sosial China sebagai hukuman yang cocok untuk kejahatan yang lebih serius.
“Mengapa menurut saya eksekusi 22 menit sangat cocok bagi mereka yang dengan jahat membunuh istri, orang tua, anak-anak, dan pembunuh berantai?” kata sebuah komentar teratas.