23.6 C
Indonesia

Cerita Pahitnya Peristiwa Ganyang Feodal 1946 Dari Putri Raja Karang X Yang Kini Telah Berusia 85 Tahun

Awalnya Suprayitno Tidak Tahu Bila Nenek Berumur 85 Tahun Tersebut Adalah Putri Raja Kerajaan Karang X

Must read

BANDA ACEH – Perjalanan seorang sejarawan memang sangat menyenangkan untuk diikuti. Pasalnya, dari berbagai penelitian mereka kita bisa temukan penggalan-penggalan sejarah yang sangat berharga untuk diketahui dan dipelajari.

Seperti biasa, sejarawan favorit The Editor, Dr. Suprayitno kini mengajak pembaca untuk berkunjung ke Tamiang, Aceh.

Dosen dari Universitas Sumatera Utara (USU) yang fokus pada penelitian situs di wilayah Sumatera ini mengatakan bahwa menurut legenda Tamiang berasal dari kata Te dan Miyang yang artinya tidak mempan dengan Miyang (serbuk yang melekat pada sebuah bambu jika tersentuh kulit akan menimbulkan rasa gatal).

Baca Juga:

“Peradaban di negeri Tamiang sudah ada setidaknya sejak 5000 tahun yang lalu, merujuk dengan adanya Bukit Kerang di daerah Seruwai. Tamiang kaya dengan sumber daya alam seperti gas dan minyak bumi dan lada hitam yang menjadi komoditas andalan dimasa kejayaan rempah dahulu,” kata Suprayitno.

Dari perjalanan ke Tamiang ini, Suprayitno bertemu secara tidak sengaja dengan Putri Raja Karang X, Hj. Tengku Arfah binti Raja Tuanku Muhammad Arifin (85). Ia bertemu dengan Tengku Arfah yang rumahnya berada di tepi Jalan Kuala Simpang, Banda Aceh, tepat disebelah Istana Kerajaan Karang.

Pertemuannya selama 1 jam ini ternyata membuahkan sebuah cerita pilu dari sejarah yang kelam. Tengku Arfah adalah seorang putri raja yang dibesarkan di istana namun harus melalui kisah tragis. Ia menjadi satu satunya yang masih hidup dari 13 anak Raja Karang X.

Berikut kisahnya:

“Tinggal di istana dan sering bepergian naik mobil. Ada dua mobil milik ayah”, demikian awal mula Putri Raja Karang X, Hj. Tengku Arfah binti Raja Tuanku Muhammad Arifin memulai cerita kepada Dr. Suprayitno.

“Saya dilahirkan di istana karang tahun 1936,” ujar Tengku Arfah sembari menggerakkan jari telunjuknya mengarah ke Istana Karang yang terletak di samping rumahnya.

Tengku Arfah saat masih berusia 6 tahun dikirim ke Medan untuk bersekolah di Chalsa Engglish School. Dengan naik Kereta Api Sri Bilah, yang gerbongnya diambil dari nama Ibunya, Tengku Arfah memulai perjalanan bolak balik Medan – Aceh.

“Ketika itu memang sangatlah indah, tinggal di Istana, sering bepergian naik mobil ada dua mobil milik ayah,” kata Tengku Arfah.

Ibu Tengku Arfah sendiri adalah Putri Sultan Bilah yang berada di Labuhan Batu. Kesultanan Bilah berkedudukan di Negeri Lama. Raja pertamanya adalah Raja Tahir Indra Alam pada tahun 1623, yang menamai kerajaannya dengan nama Kerajaan Bilah.

Sayangnya, masa kecil Tengku Arfah yang bahagia ini harus berhenti saat peristiwa Ganyang Feodal terjadi di tahun 1946. Di masa itu, lanjutnya, orang-orang tidak dikenal memaksa masuk ke dalam istana mereka dan mengambil semua benda-benda berharga milik kerajaan.

“Ya waktu itu entah dari manalah orang pada masuk istana terus mengambil semua barang barang yang ada di istana, sampai hanya tinggal pakaian yang melekat di baju saya yang tersisa,” ungkap Tengku Arfah.

“Dua mobil, dan harta sebanyak dua gerbong kereta api serta peternakan sapi semuanya diambil,” tambahnya lagi.

Tengku Arfah mengatakan saat itu memang tidak terjadi aksi pembakaran terhadap Istana Karang saat orang-orang menjarahi barang mereka. Dan karena alasan itu juga Istana Karang masih berdiri kokoh seperti sekarang.

“Tetapi kini Istana itu sudah bukan menjadi properti kami lagi. Istana Karang sudah dijual ke pihak Pertamina. Saat ini Istana Karang menjadi Kantor Badan Lingkungan Hidup. Cukup terawat Istana Karang hanya sayangnya kenapa Pemkab Tamiang tidak mengemasnya menjadi Destinasi Wisata,” keluh Tengku Arfah.

Perlu diketahui, terdapat kisah heroik perang Tamiang yang diabadikan dalam bentuk Tugu Perang Tamiang di Esplanade (Lapangan Merdeka) Medan.

Istana Karang Mudah Dijangkau

Suprayitno juga mengiyakan ide dari Tengku Arfah agar Istana Karang dijadikan sebagai objek wisata. Karena lokasi berdirinya di Aceh sangat mudah dijangkau dengan transportasi publik.

“Padahal lokasi sangat mudah dijangkau publik. Saya percaya banyak orang tidak pernah masuk atau berphoto ke Istana Karang sambil coba belajar menggali sejarah sambil melepas penat ketika bepergian ke kota Banda Aceh,” tandasnya.

Karena itu, lanjutnya, tidak heran jika di bumi Tamiang muncul kerajaan Tamiang yang makmur sejak abad ke 11 M. Kerajaan ini kemudian terpecah menjadi beberapa kerajaan antaranya, Kerajaan Karang.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru