JAKARTA – Sebuah kelompok astronom internasional yang dikenal sebagai Kolaborasi Event Horizon Telescope (EHT) pada hari Kamis (12/5) meluncurkan gambar pertama lubang hitam yang terletak di pusat galaksi Bima Sakti.
Benda kosmik yang berukuran sangat besar itu kemudian dikenal sebagai Sagitarius A*.
Para astronom percaya bahwa hampir semua galaksi, termasuk galaksi Bima Sakti ini, memiliki lubang hitam raksasa di pusatnya. Dengan sifat cahaya dan materi yang tidak dapat melarikan diri darinya, upaya untuk mendapatkan gambar lubang hitam selalu sulit terwujud.
Oleh karena kegelapannya, gambar ini sejatinya tidak menunjukkan lubang hitam secara langsung, melainkan gas bercahaya yang mengelilinginya, yang berukuran empat juta kali lebih besar dari matahari.
Cahaya dibengkokkan dan dipelintir secara acak oleh gravitasi lubang hitam saat tersedot ke dalamnya bersama dengan gas dan debu yang sangat panas.
Gambar tersebut lantas menjadi konfirmasi visual pertama dari keberadaan objek tak terlihat ini setelah tiga tahun yang lalu gambar pertama lubang hitam dari galaksi yang jauh tertangkap.
“Pengamatan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini telah sangat meningkatkan pemahaman kita tentang apa yang terjadi di pusat galaksi kita,” kata ilmuwan proyek EHT Geoffrey Bower, dari Academia Sinica Taiwan.
Bower juga mengatakan dalam sebuah pernyataan yang diberikan oleh Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis (CNRS) bahwa pengamatan tersebut telah menawarkan “wawasan baru tentang bagaimana lubang hitam raksasa ini berinteraksi dengan lingkungan mereka”.
Hasil penemuannya dipublikasikan di The Astrophysical Journal Letters.
Nama Sagitarius A*, disingkat Sgr A*, yang diucapkan “sadge-ay-star”, diambil dari posisinya yang berada di sekitar konstelasi Sagitarius.
Keberadaannya telah diasumsikan sejak 1974, dengan deteksi sumber radio yang tidak biasa di pusat galaksi.
Kemudian, pada 1990-an, para astronom memetakan orbit bintang paling terang di dekat pusat Bima Sakti dan mengonfirmasi keberadaan objek padat yang sangat besar di sana.
Meskipun keberadaan lubang hitam dianggap sebagai satu-satunya penjelasan yang masuk akal, gambar baru ini memberikan bukti visual langsung pertama.
“Penangkapan” gambar ini memerlukan delapan observatorium radio raksasa di seluruh bumi yang dihubungkan dan membentuk satu teleskop virtual “seukuran Bumi” yang disebut EHT.
Satu di antaranya adalah teleskop Institute for Millimeter Radio Astronomy (IRAM) 30 meter (98,4 kaki) di Spanyol yang merupakan antena tunggal paling sensitif dalam jaringan EHT.
EHT diarahkan menatap Sgr A* di beberapa malam selama berjam-jam berturut-turut.
Kelompok tersebut kemudian menggunakan proses yang sama ketika merilis gambar pertama lubang hitam pada 2019 lalu–gambar lubang hitam yang berasal dari galaksi yang berjarak 53 juta tahun cahaya, galaksi Messier 87, dan disebut M87*.
Lubang hitam Bima Sakti jauh lebih dekat, sekitar 27.000 tahun cahaya dari Bumi. Satu tahun cahaya adalah 5,9 triliun mil atau 9,5 triliun kilometer.
Meskipun berukuran 2.000 kali lebih kecil dari M87*, Sgr A* menunjukkan kemiripan yang mencolok.
“Di dekat tepi lubang hitam ini, mereka terlihat sangat mirip,” kata Sera Markoff, ketua bersama Dewan Sains EHT, dan seorang profesor di Universitas Amsterdam.
Keduanya berperilaku seperti yang diprediksi oleh teori relativitas umum Einstein tahun 1915, yang menyatakan bahwa gaya gravitasi dihasilkan dari kelengkungan ruang dan waktu, dan objek kosmik mengubah geometri ini.
Terlepas dari kenyataan bahwa Sgr A* jauh lebih dekat dengan bumi, pencitraan itu menghadirkan tantangan yang unik.
Gas di sekitar kedua lubang hitam bergerak dengan kecepatan yang sama, mendekati kecepatan cahaya. Akan tetapi, butuh berhari-hari dan berminggu-minggu untuk mengorbit M87* yang lebih besar, sedangkan Sgr A* dapat dikelilingi hanya dalam beberapa menit.
Hal ini pun mengharuskan para peneliti untuk mengembangkan alat baru yang kompleks untuk menjelaskan target yang bergerak.
Lebih dari 300 peneliti dari 80 negara berpartisipasi dalam pengambilan gambar kali ini, yang memakan waktu selama 5 tahun.
Ke depannya, mereka akan membandingkan dua lubang hitam tersebut untuk menguji teori tentang perilaku gas di sekitarnya, sebuah fenomena yang masih kurang dipahami namun dianggap berperan dalam pembentukan bintang dan galaksi baru.
Sumber: Al Jazeera