JAKARTA – Staf Ahli Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo mengungkapkan tentang utang tersembunyi dari China yang menurutnya tengah ramai diperbincangkan, khususnya oleh AidData.
Di lama Facebooknya, Yustinus menjelaskan asal muasal uang yang dianggap sumber pendanaannya dilakukan secara diam-diam di Indonesia.
Berikut penjelasan Yustinus:
“Ramai dibincangkan ‘hidden debt’ atau utang tersembunyi dari China versi AidData. Agar tidak simpang siur dan terang, kami jelaskan duduk persoalannya. Informasi yang disampaikan kurang tepat dan rawan digoreng hingga gosong. Itu bukan utang Pemerintah tapi dikait-kaitkan.
Hidden debt versi AidData tidak dimaksudkan sebagai utang yg tidak dilaporkan atau disembunyikan, melainkan utang non-Pemerintah yang jika wanprestasi berisiko menyerempet Pemerintah. Jadi di titik ini kita sepakat, ini bukan isu transparansi.
Utang tersebut dihasilkan dari skema Business to Business (B-to-B) yg dilakukan dengan BUMN, bank milik negara, Special Purpose Vehicle (SPV), perusahaan patungan dan swasta. Utang BUMN tidak tercatat sebagai utang Pemerintah dan bukan bagian dari utang yang dikelola Pemerintah.
Demikian juga utang oleh perusahaan patungan dan swasta tidak masuk dalam wewenang Pemerintah, sehingga jika pihak-pihak tersebut menerima pinjaman, maka pinjaman ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka. Meski demikian, tata kelola kita kredibel dan akuntabel soal ini.
Penarikan Utang Luar Negeri (ULN) yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, dan Swasta tercatat dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI). SULNI disusun dan dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan. Clear dan transparan.
Berdasarkan data SULNI per akhir Juli 2021, total ULN Indonesia dari Cina sebesar USD 21,12 miliar, terdiri dari utang yang dikelola Pemerintah sebesar USD 1,66 miliar (0,8% dari total ULN Pemerintah), serta utang BUMN dan swasta dengan total mencapai USD 19,46 miliar.
Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, tidak tepat jika terdapat ULN (termasuk pinjaman Cina) yang dikategorikan sebagai “hidden debt”. Semua ULN yang masuk ke Indonesia tercatat dalam SULNI dan informasinya dapat diakses oleh publik. Tak ada yg disembunyikan atau sembunyi2.
Terkait utang BUMN yang dijamin, utang ini dianggap kewajiban kontinjensi Pemerintah. Kewajiban kontinjensi tersebut tidak akan menjadi beban yang harus dibayarkan Pemerintah sepanjang mitigasi risiko default dijalankan. Ini yg terjadi saat ini: zero default atas jaminan Pemerintah.
Kewajiban kontinjensi memiliki batasan maksimal penjaminan oleh Pemerintah. Batas maksimal pemberian penjaminan baru terhadap proyek infrastruktur yang diusulkan memperoleh jaminan pada 2020 – 2024 sebesar 6% terhadap PDB 2024.
Dengan tata kelola seperti ini, mitigasi risiko dilakukan sedini mungkin dan tidak akan menjadi beban Pemerintah, apalagi beban yang tak terbayarkan. Jadi sekali lagi, tak perlu khawatir sepanjang dikaitkan dengan Pemerintah. Mari terus semangat dan berkolaborasi untuk negeri.
Tentu saja Pemerintah mengapresiasi siapa pun yang punya concern pada tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk utang. Mohon terus didukung dan dikritisi. Banyak pelajaran dari negara lain yang bisa dipetik. Kita tingkatkan kewaspadaan dan tetap optimis.
Salam Indonesia!”.