JAKARTA – Bagi Rina, seorang warga Kampung Rawa, Jakarta Pusat, lebih banyak sisi yang tidak mengenakkan selama hidup di ibu kota dibanding sisi sebaliknya.
Terutama dalam hal ekonomi, mengingat pemasukan keluarganya yang sangat pas-pasan untuk hidup di kota yang serba mahal.
Keluarga Rina terdiri dari tiga orang; dirinya, suaminya, dan anaknya yang kini tengah menempuh S2.
Dengan suaminya yang bekerja serabutan dan hanya bisa menghasilkan Rp3 juta per bulan, ia mengaku anaknya harus bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan biaya kuliah–dan terus bekerja sambil tetap berkuliah.
“Saya sempat jual-jualin emas. Dulu emas masih mahal, kan? Biarin, demi anak kuliah,” katanya.
Di samping biaya pendidikan, biaya yang paling mahal menurut Rina adalah biaya makan–yang harus dipikirkannya setiap hari dengan amat cermat.
Ketika tim The Editor bertemu dengannya pada Jumat (21/7), wanita berusia 64 tahun itu tengah membeli gado-gado di ujung gang.
Sebungkus gado-gado itu dibelinya dengan harga Rp15 ribu. Dan untuk menghemat, ia tidak akan mengaduk-aduk makanan berbumbu kacang itu agar bisa dinikmati oleh suami dan anaknya juga.
“Rp15 ribu untuk bertiga. Saya nggak aduk-aduk kan makannya entar. Kalau diaduk-aduk entar berarir,” jelasnya.
Dengan kondisi tersebut, Rina mengaku dirinya tidak pernah bepergian dalam rangka berjalan-jalan demi menekan pengeluaran.
Ia juga tidak lagi mengunjungi kampung halaman suaminya di Sukabumi karena tidak ada biaya.
“Senang [ke Sukabumi]. Tapi kan, butuh duit. Belum [uang buat] ponakan,” katanya.
Jika memungkinkan, Rina mengatakan dirinya ingin pindah ke Sukabumi–yang menurutnya sejuk.
Sayangnya, harga rumah yang sudah meroket di mana-mana memperkecil kemungkinan itu untuk terwujud.
Atas hal-hal tersebut, ia pun berharap agar pemerintah lebih memerhatikan warganya. Terlebih tentang bantuan yang disalurkan, jangan sampai ada ‘permainan’ di antara warga yang kemudian menimbulkan ketidakadilan.
