JERMAN – Musim dingin bukan masa yang menyenangkan bagi bangsa Eropa. Kondisi ini terjadi saat dunia tengah mengalami krisis energi.
DW melaporkan bahwa saat ini harga gas alam di eropa tengah melonjak hingga 391 persen. Sementara harga batubara naik dua kali lipat hingga 89 persen.
Artinya, seluruh warga eropa harus membayar dua kali lipat untuk setiap alat pemanas yang terpakai selama musim dingin yang ada di rumah mereka masing-masing. Hal ini juga berlaku untuk bahan bakar mobil.
Kenaikan ini juga terjadi di belahan dunia lain seperti Amerika Serikat mengalami kenaikan energi sebanyak 30 persen, Inggris sebanyak 23 persen, kawasan Eropa sebanyak 24 persen, India 14 persen dan Pakistan 11 persen.
Krisis energi ini disebut-sebut terjadi karena perubahan iklim. Apakah demikian? Karena faktanya ada banyak penyebab mengapa tahun ini terjadi krisis energi.
“Setidaknya ada 15 penyebab krisis energi di dunia,” ujar Chelsey Dulaney dalam laporannya.
Saat ini, penyebab krisi energi adalah pandemi corona. Dimana di bulan pertama ekonomi dunia dipaksa untuk berhenti dan masyarakat harus tinggal di rumah mereka masing-masing.
Akibatnya, produsen bahan bakar fosil menghentikan pengeboran minyak, menghentikan produksi gas alam dan bahkan menutup tambang batubara.
Dunia tengah lengah. Karena setelah semua perusahaan yang memproduksi energi fosil, tiba-tiba muncul permintaan saat pandemi covid-19 perlahan mereda. Dan permintaan terjadi di setiap sektor ekonomi.
Rantai permintaan ini muncul di semua belahan dunia. Mulai dari penyedia chip komputer, pengiriman kontainer hingga gas.
Ironisnya, krisis energi dunia terjadi saat negara-negara di dunia tengah berencana untuk tidak lagi memakai energi fosil selamanya.
India misalnya tengah berencana mencapai target emisi nol bersih di tahun 2070 mendatang. Sementara Kenya berencana menargetkannya di tahun 2030.
Terlepas dari janji dan keinginan setiap pemimpin bangsa, Chelsey melihat bahwa dunia masih sangat bergantung pada energi dari bahan bakar fosil karena hantaman pandemi corona sangat mematikan.
Jerman yang memimpin penggunaan energi terbarukan juga masih pontang-panting menjalankan aturan penghentian energi fosil. Chelsey melihat bahwa penggunaan energi batu bara di Jerman masih mencapai 17,8 persen, penggunaan energi gas alam sebesar 16,7 persen, penggunaan energi nuklir sebesar 11,7 persen, batu bara keras sebesar 8,4 persen, minyak mineral sebesar 0,8 persen dan penggunaan energi terbarukan mencapai 41,4 persen.
Peralihan dari penggunaan bahan bakar fosil ke bahan bakar terbarukan juga akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Pada tahun 1981 gas alam dan batu bara menyumbangkan 84 persen dri total permintaan energi. Dan di tahun 2020 lalu angka tersebut masih tetap 84 persen.
China adalah negara pertama yang menjadi contoh bagi dunia tentang kekurangan energi tersebut. Negara ini juga menjadi negara pertama yang berhasil bangkit dari gempuran pandemi corona.
Pabrik-pabrik di China membutuhkan bahan bakar dalam jumlah besar. Disana 70 persen pembangkit listrik masih menggunakan batu bara. Aturan de facto dari Australia membuat China harus menutup tambang batu baranya dan berakibat pada ekonomi China yang mengharuskan pabrik-pabriknya ditutup.
Kondisi itu justru membuat pemerintahan yang berpusat di Beijing untuk memproduksi buta bara dua kali lipat dari biasanya. Banyak pihak yang khawatir bila tujuan perbaikan iklim oleh pemerintah China akan terancam.
Dengan kekurangan pasokan batu bara, China beralih ke gas alam internasional. Tujuannya agar pabrik-pabrik di negaranya dapat terus beroperasi. Permintaan China yang besar ini membuat pasar dunia, termasuk Eropa bergejolak.
Di China sendiri jutaan rumah tangga menukar batu bara dengan gas. Program ini diacungi jempol karena terbukti anti polusi.
Data membuktikan bahwa di tahun 2020 lalu kota-kota besar di China adalah salah satu yang paling tercemar di dunia. Namun sekarang tidak lagi. Kondisinya memang masih buruk tapi China bukan yang terburuk.
Permintaan China akan gas alam selama krisis energi berlangsung telah menekan Eropa.
Persaingan antara China dan Eropa untuk mendapatkan gas alam cair (LNG) telah terjadi selama bertahun-tahun. Dan puncaknya adalah tahun ini dimana Eropa menawar LNG dengan harga tertinggi dari pada Asia.
Yang paling membuat Eropa khawatir adalah keberadaan Rusia yang jadi pemasok utama LNG ke seluruh dataran Eropa. Tahun 2021 ini Rusia diketahui terlambat memasuk LNG ke negara-negara yang pasokan gasnya hampir habis karena serbuan musim dingin sebelumnya.
Ada data yang menunjukkan bila Rusia sendiri tengah berusaha setengah mati memenuhi permintaan gas, bahkan di negaranya sendiri. Kita ketahui bersama saat musim dingin Rusia akan menjadi sangat dingin. Jadi tidak mungkin negara ini mau memberikan LNG mereka ke Eropa dengan harga mahal sementara warganya sendiri mati kedinginan.
Namun muncul juga analisis lain yang mengatakan bahw Rusia sengaja memperlambat pengiriman LNG karena mengetahui kebutuhan gas yang sangat tinggi di Eropa saat ini.
Namun bila pemakaian gas alam dihentikan, maka Rusia akan menjadi salah satu negara yang akan terkena dampaknya. Bersama dengan negara-negara penghasil minyak yang dikenal dengan OPEC Plus akan mengalami kerugian.
Kartel dunia telah menolak peningkatan produksi minyak meski harga naik. Negara-negara OPEC Plus memiliki hak menaikkan harga karena mereka adalah penghasil minyak. Dan biasanya mereka lakukan untuk menaikkan kas mereka.
Dengan kata lain, negara-negara ini mungkin masih bisa menghasilkan uang dari energi fosil yang mereka miliki selagi masih bisa.
Jika cuaca dingin terjadi dalam jangka waktu yang lama di Eropa Barat Laut atau Asia Timur Laut maka akan terjadi pemadaman listrik dan pemanas di semua tempat.
Sama seperti covid-19 yang melonjak, maka Anda akan tinggal di rumah kedinginan dan sakit.
Kesimpulannya adalah banyak orang yang mengatakan krisis energi ini terjadi karena adanya rencana pengurangan penggunaan energi fosil di selurh dunia.
Pengurangan emisi dinilai terlalu ambisius sehingga membuat bahan bakar fosil harus dikurangi produksinya padahal energi terbarukan belum sepenuhnya tersedia.
Kenyataannya di tahun 2015 investasi di bidang minyak dan gas bumi turun dari $ 780 miliar menjadi $ 350 miliar.
Ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil diyakini akan berakhir. Karena energi juga bisa dihasilkan dari matahari dan angin.
Sementara itu politisi memanfaatkan krisis ini sebagai peluang mendorong lebih banyak investasi dalam energi terbarukan. Namun dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun infrastrukturnya. Jadi bagaimana sekarang?
Tampaknya pemerintah masih belum bisa melepaskan diri dari penggunaan energi fosil. Dan pada akhirnya masyarakat geram dan frustasi karena tidak dapat memenuhi kebutuhan energinya.