JAKARTA – Menurut Balai Penelitian dan Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, penyediaan teknologi produksi kedelai sering terkendala oleh faktor nonteknis, termasuk skala usaha yang kecil, cara kerja secara manual dengan asupan modal sangat rendah, dan alokasi tenaga kerja yang minimal.
Masih hangat diberitakan bahwa pengrajin usaha tahu tempe berteriak dengan harga kedelai yang meningkat hampir 20 persen.
Hal ini terjadi karena para pengrajin mogok berproduksi, hingga produk olahan kedelai tahu dan tempe sulit ditemukan di pasar.
Harga kacang kedelai segar di distributor pada Bulan November 2020 Rp7.500 – Rp8.000 per kilogramnya, mengalami peningkatan pada bulan Januari 2021 menjadi Rp9.200 per kilogramnya. Kondisi ini mendorong Pemerintah untuk segera mengantisipasi melalui stabilitas harga kedelai di tingkat distributor.
Dari data yang dikeluarkan oleh Analisis Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian diketahui bahwa hingga saat ini Indonesia baru bisa memproduksi 9 persen atau sekitar 296.124 ton kedelai lokal. Sementara itu, sisanya yakni 3.130.495 ton lainnya harus diimpor dari negara lain.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap importasi kedelai, sejak tahun 2018 pemerintah mendorong petani lewat program UPSUS (Upaya Khusus) dengan cara menambah luas areal tanam kedelai di dalam negeri. Sampai sejauh ini program tersebut terus dilakukan.
SANGAT SULIT MENANAM KEDELAI DI INDONESIA
Di antara tanaman pangan semusim, kedelai merupakan tanaman yang mungkin paling sukar dirumuskan teknologi bakunya. Hal ini disebabkan oleh beragamnya karakteristik agroekologi untuk bertanam kedelai di Indonesia.
Di samping itu, petani pada agroekologi yang sama di wilayah yang berbeda, menerapkan cara budi daya yang berbeda-beda. Alokasi periode waktu yang sangat singkat (antara 80-90 hari) untuk tanaman kedelai dan besarnya pengaruh terlambat tanam terhadap keberhasilan usaha produksi kedelai, semakin membatasi komponen budi daya yang dinilai optimal bagi peningkatan produktivitas.
Berbagai literatur yang tersedia menyebutkan bahwa produktivitas kedelai di Indonesia dapat mencapai 2,0-2,5 ton/ha. Namun kemungkinan, teknologi yang dijelaskan pada buku-buku tersebut tidak dapat dengan mudah diadopsi oleh petani sehingga produktivitas kedelai di Indonesia masih sekitar 1,0-1,5 ton/ha, dengan rata-rata 1,25 ton/ha (Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian). Angka ini jauh di bawah produktivitas tanaman kedelai di Amerika Serikat yang mencapai 4 ton per hektar.
Produktivitas di Amerika Serikat lebih tinggi lantaran tanaman kedelai mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam.
Hal lain sebagai penyebab rendahnya produksi kedelai terutama terkait dengan status tanaman kedelai yang hanya diposisikan sebagai tanaman penyelang atau pengisi dalam pola rotasi tanaman setahun.
Di semua wilayah produksi kedelai di Indonesia, hampir tidak ada petani produsen yang menempatkan kedelai sebagai tanaman utama. Hal ini dapat disebabkan karena keuntungan per hektar di tingkat petani masih lebih kecil dibandingkan dengan jagung ataupun padi. Akibatnya, petani memprioritaskan lahannya untuk menanam jagung dan padi.
USAHA PRODUKSI KEDELAI TERKENDALA FAKTOR NONTEKNIS
Menurut Balai Penelitian dan Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, penyediaan teknologi produksi kedelai sering terkendala oleh faktor nonteknis, termasuk skala usaha yang kecil, cara kerja secara manual dengan asupan modal sangat rendah, dan alokasi tenaga kerja yang minimal.
Hal-hal tersebut selain menyulitkan pemilihan jenis teknologi maju yang sesuai, juga menjadi penghambat adopsi teknologi yang telah disediakan.
Jenis teknologi yang terkait dengan penggunaan alat mesin pertanian seperti yang diterapkan di negara maju, menjadi tidak relevan penerapannya dengan sistem budi daya kedelai di Indonesia.
Konsep sistem produksi kedelai mencapai swasembada perlu diupayakan dengan penambahan luas areal panen pada wilayah baru yang dapat memposisikan kedelai sebagai tanaman utama, atau tanaman komersial.
Sistem produksi kedelai yang berkelanjutan di Indonesia memerlukan tersedianya wilayah produksi kedelai permanen, pada agroekologi yang sesuai untuk tanaman kedelai. Walaupun keputusan untuk menanam atau tidak menanam kedelai tetap sepenuhnya di tangan petani, namun penunjukan “wilayah produksi kedelai” dengan berbagai prasarana yang diperlukan, perlu difasilitasi.
Produksi kedelai di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat sebagai tiga provinsi utama penghasil kedelai masih dapat terus ditingkatkan salah satunya melalui pendampingan kepada petani kedelai dalam produksi dan pasca panen dalam menghasilkan kedelai dengan kualitas yang diminta oleh pasar serta menjamin harga jual petani sesuai harga acuan.
Dalam menjamin harga jual kedelai, perlu melibatkan BUMN pangan yang ditugaskan oleh Pemerintah untuk menyerap komoditas pangan pada harga yang sudah ditetapkan. Saat ini, harga kedelai lokal Rp6.500/kg, jauh di bawah harga acuan pembelian di petani Rp8.500/kg (Permendag Nomor 7/2020).
PEMERINTAH HARUS INTERVENSI PERLUASAN AREAL TANAM KEDELAI DI LUAR PULAU JAWA
Formulasi kebijakan yang tepat sebagai bentuk intervensi khusus dari pemerintah mungkin dibutuhkan seperti perluasan areal tanam kedelai di luar pulau Jawa, pembukaan lahan baru yang ditujukan khusus untuk penanaman kedelai, teknologi untuk peningkatan produktivitas, insentif bagi petani yang menanam kedelai, jaminan harga jual dan pasar bagi petani untuk menjawab tantangan peningkatan produksi kedelai di Indonesia.