INDIA – Film “Gangubai Kathiawadi” akhirnya menyapa dunia lewat bioskop-bioskop komersial setelah berkompetisi di ajang festival film bergengsi Berlinale ke-72 akhir bulan lalu.
Dalam minggu pertama penayangannya ini, film garapan Sanjay Leela Bhansali tersebut banjir pujian dan dukungan.
Akting para pemeran yang patut diacungi jempol, alur cerita yang disusun demikian apiknya, serta cara Bhansali dalam mengeksekusi karya seni ini adalah poin utama dari pujian-pujian tersebut.
Akan tetapi, di balik itu semua, “Gangubai Kathiawadi” nyatanya sempat tersandung urusan di pengadilan yang diduga menjadi salah satu alasan kemunduran perilisannya yang berkali-kali.
Dilansir dari Hindustan Times, beberapa orang yang mengaku sebagai anak adopsi Gangubai yang asli melayangkan gugatan ke pihak Bhansali dan Alia Bhatt selaku pemeran utama film ini karena mencemarkan nama baik ibu mereka.
Sebagai informasi, film “Gangubai Kathiawadi” diangkat dari sebuah bab di buku karya Hussain Zaidi yang berjudul “Mafia Queens of Mumbai”.
Secara garis besar, keduanya menceritakan sosok Gangubai Kothewali yang merupakan “madame” di sebuah distrik lampu merah Kamathipura, Kathiawadi, India bagian barat.
Sebelum mendapatkan posisi tersebut, Gangubai atau Gangu adalah pekerja seks sama seperti orang-orang lain yang hidup di kawasan itu.
Lewat perjuangannya yang tidak pernah berhenti, ia dapat mengubah nasib dan menjadi orang nomor satu di sana. Ia dicintai, dihormati, dan disegani oleh orang-orang Kamathipura.
Dilansir dari The Indian Express, Gangubai Kathiawadi adalah penduduk asli Gujarat yang memiliki nama asli Ganga Harjeevandas Kathiawadi. Ia adalah pemilik rumah prostitusi di Mumbai yang berpengaruh dan terkenal pada tahun 1950–1960-an.
Permasalahan muncul ketika anak-anak adopsi Gangubai merasa keberatan dengan penggambaran sosok sang ibu baik di buku cerita maupun di filmnya.
Mereka tidak setuju dengan penggambaran kedua pihak yang menyebut sang ibu sebagai pekerja prostitusi. Menurut kesaksian mereka, Gangubai adalah aktivis yang memperjuangkan hak-hak para pekerja prostitusi.
“Tidak ada yang ingin ibu mereka digambarkan sebagai pelacur. Bahkan anak seorang pelacur tidak akan menginginkan itu. Itu hanya demi uang, itu membunuh karakter seseorang. Ini bukan masalah ibu dan anak, ini adalah masalah rasa hormat dan martabat bagi setiap wanita,” ucap Narendra Dubey selaku pengacara pihak anak-anak adopsi Gangubai kepada Hindustan Times.
“Tidak ada wanita yang ingin digambarkan dengan cara telanjang dan cabul seperti itu. Bahkan jika kita percaya apa yang ditulis Hussain Zaidi dalam bukunya, dia mengatakan Gangubai tidak pernah ingin menjadi pelacur. Apakah wanita itu kemudian, ingin digambarkan sebagai pelacur?” lanjutnya.
Dubey kemudian menegaskan bahwa peran Gangubai di masyarakat adalah pekerja sosial yang memperjuangkan hak-hak para pekerja prostitusi di daerahnya, Kamathipura.
Bahkan, ketiga mantan perdana menteri India, menurutnya, pernah mengunjungi rumah Gangubai pada masa pemilihan karena pengaruhnya di kawasan tersebut.
Gangubai sendiri meninggal pada tahun 1970-an. Ia dikenal luas sebagai sosok yang tidak memiliki anak kandung.
Salah satu “anak adopsi”nya yang bernama Baburao juga menegaskan bahwa sang ibu adalah pekerja sosial, bukan seorang pekerja prostitusi seperti yang digambarkan di buku dan film.
“Mereka mengubah ibu saya menjadi pekerja seks dan orang-orang membicarakan hal-hal [yang tidak pantas] tentangnya. Saya tidak menyukai itu,” katanya.
Saat jadwal perilisan pertama film ini diumumkan pada tahun 2020 lalu, “anak-anak adopsi” Gangubai harus pindah untuk mengikuti proses hukum di pengadilan.
Dubey mengatakan bahwa pengadilan mengonfirmasi status adopsi mereka, namun pengadilan tinggi meminta bukti adopsi agar proses hukum dapat dilanjutkan.
Upaya menunda film ini akhirnya terhambat di Mahkamah Agung India, namun “Gangubai Kathiawadi” sudah tersebar di banyak negara sejak 25 Februari 2022 lalu.