KENYA – Di salah satu sudut negara Kenya, perkampungan kumuh Mathare telah lama menjadi saksi atas kebrutalan polisi terhadap para pemuda. Satu persatu nyawa hilang atas tuduhan tak berdasar mereka yang bahkan tidak sempat masuk ke ranah hukum.
Pada tahun 2017, dua nyawa kakak-beradik bernama Bernard dan Victor masuk ke dalam catatan korban kebrutalan ini.
Aksi protes yang saat itu tengah berlangsung membuat keduanya kesulitan untuk pulang. Tak lama setelah mereka berbincang dengan beberapa pemuda lainnya, polisi mulai menembakkan senjata yang mengincar nyawa.
Victor ditembak di perut sedangkan kepala Bernard meledak akibat tembakan yang didapatnya ketika berlari mendekati sang adik.
“Hidup saya diobrak-abrik,” ujar ibu dari keduanya, Buluma, kepada Al Jazeera, Senin (9/5).
“Nyawa anak-anak saya diambil seperti bukan apa-apa,” lanjutnya.
Kesedihan Buluma yang kemudian dikenal sebagai “Mama Victor” memberi jalan pada kemarahannya untuk bangkit dan memperjuangkan keadilan bagi anak-anaknya, serta pemuda lainnya yang bernasib sama.
Pada bulan Juli 2018, ia dan ibu dari para korban menghadiri protes pro-demokrasi tahunan dan menyuarakan kesedihan, kemarahan, serta keputusasaan mereka terhadap nasib anak-anak mereka.
“Mereka selalu diancam apabila melapor atau membicarakannya di depan publik. Petugas yang membunuh anak-anak mereka sebelumnya akan mendatangi mereka atau anak-anak mereka yang lain,” papar Buluma mengenai alasan tidak ada ibu yang pernah bersuara sebelumnya.
Para aktivis mengatakan bahwa polisi kerap mendatangi Mathare untuk menahan, memeras, hingga membunuh penduduk setempat dengan dibekali “kekebalan hukum”.
Demi menghindari sesamanya berpapasan dengan polisi, penduduk Mathare akan meneriakkan “kimeumana!” yang berarti masalah atau bencana.
Mereka juga akan membuat suara-suara berisik untuk memperingatkan yang lain sekaligus mengganggu polisi tersebut agar segera keluar dari Mathare.
Perjuangan Buluma dan para ibu akhirnya berbuah pada terbentuknya Jaringan Ibu Korban dan Penyintas (MVSN) pada 2020 lalu. Hingga kini, jaringan ini memiliki setidaknya 70 anggota.
MVSN bertujuan untuk memberikan perlindungan untuk satu sama lain, berjuang agar kebrutalan polisi segera berakhir, serta, yang tidak kalah penting, memperjuangkan kasus-kasus kebrutalan polisi yang sudah terjadi ke ranah hukum.
Jauh sebelum MVSN terbentuk, Independent Policing Oversight Authority (IPOA) didirikan pada 2011 untuk memberikan pengawasan sipil terhadap kepolisian Kenya.
Akan tetapi, lebih dari sepuluh tahun berlalu, hanya sedikit polisi yang dinyatakan bersalah meskipun ribuan kasus kebrutalannya telah dilaporkan.
Missing Voices Kenya, sebuah koalisi yang memonitor tingkat kematian di negara itu, mencatat ada 1.226 kasus kematian akibat kebrutalan polisi dan 275 penghilangan paksa sejak mereka pertama kali mendokumentasikannya pada 2007 lalu.
Hingga kini pun MVSN masih kesulitan memproses setiap kasus yang mereka perjuangkan.
Akan tetapi, sikap tidak pantang menyerah yang mereka junjung dan keyakinan akan “keadilan yang diraih suatu hari nanti” membuat mereka terus maju.
Semakin besarnya MVSN sejalan dengan semakin besarnya tekanan yang mereka terima. Buluma beberapa kali diikuti oleh polisi, menjadikannya terbiasa untuk waspada dan memvariasikan rute jalan pulangnya.
Seorang ibu yang mengikuti gerakan ini didatangi oleh polisi ketika ia berjualan buah di pasar. Mereka menginterogasinya dan meminta nama dan alamat dari anak-anaknya.
“Setiap kali seorang ibu bergabung pada gerakan kami, suara kami menjadi lebih keras,” ucap Buluma.
“Polisi-polisi ini seharusnya takut pada kami, bukan sebaliknya,” pungkasnya.
Sumber: Al Jazeera