
VATIKAN – Beberapa hari belakangan ini dunia dihebohkan dengan kematian George Floyd, seorang warga negara Amerika Serikat berkulit hitam yang berdomisili di Minneapolis, Minnesota.
Dia dicurigai menggunakan uang palsu di sebuah supermarket dan tuduhan tersebut belum terbukti kebenarannya. Menurut laporan keempat polisi berkulit putih yang datang George melawan ketika hendak di tahan. Akan tetapi bukti CCTV dan video saksi dari saksi mata memperlihatkan tidak ada perlawanan sama sekali.
Bahkan parahnya, lutut dari salah satu anggota polisi ini menekan batang leher George. Tidak ada perlawanan! George hanya berbicara berulang-ulang sambil menahan rasa sakit.
“Tolong, saya tidak bisa bernafas”, ujar George pelan.
Tetapi teriakan George tetap diabaikan. Beberapa menit kemudian dia meninggal dunia.
Bulan Februari 2020, Ahmaud Arbery, seorang African-American ditembak mati saat sedang joging oleh seorang mantan polisi dan anaknya. Anehnya, kedua pembunuh ini baru ditahan setelah video pembunuhan viral di bulan April lalu. Akibatnya semua orang berdemonstrasi menuntut keadilan hingga hari ini.
Secuil kisah diatas adalah jeritan yang mewakili sekian banyak ketidakadilan berlatarkan ras dan diskriminasi yang disebabkan oleh perbedaan, tepatnya warna kulit. Kematian dua orang ini adalah contoh perlakuan buruk manusia yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dangkalnya pemahaman akan pluralitas membuat kemanusiaan seringkali dikerdilkan sebatas status, warna kulit, jenis rambut, asal pulau tertentu atau nama marga.
Parahnya, diskriminasi dan rasis ini “dipelihara” oleh orang-orang tertentu, warga pulau tertentu, bahkan ras tertentu secara (tidak) sadar. Bahkan penyakit ini dapat kita temui saat tengah melamar pekerjaan, cari kontrakan, saat mencari pasangan hidup, hendak mengadopsi anak, bahkan di tempat ibadah sekalipun. Superioritas atas minoritas masih eksis di zaman ini. Apakah Anda pernah mengalaminya? Inilah realitas hidup yang kita alami.
Dangkalnya pemahaman dan tidak meratanya pendidikan patut kita curigai sebagai biang kebrutalan degradasi moral ini. Jika hal ini dilakukan oleh orang mengakui dirinya sebagai manusia, maka sungguh sial para pendidiknya. Jika hal ini dilakukan oleh manusia yang mengakui dirinya beragama, maka sia-sialah agama itu.
Semua manusia harus diakui dan dihormati. Hal ini bukanlah sebuah hadiah yang bisa diberikan, tetapi telah melekat bahkan sebelum manusia dilahirkan. Hal tersebut mutlak harus dilakukan.
“Tidak seorang pun terlahir untuk membenci orang lain dikarenakan perbedaan warna kulit, latar belakang atau agamanya. Orang harus belajar untuk membenci dan jika mereka dapat belajar untuk membenci, mereka pasti dapat diajarkan untuk mencintai karena cinta datang lebih alami ke hati manusia daripada kebalikannya,” ujar Nelson Mandela.
Sahabatku, sudah saatnya kita merayakan perbedaan. Mulailah hal itu dari keluarga dan sekolah. Didiklah anak Anda, untuk menghargai keunikan dirinya sendiri dan orang lain. Bukalah pikirannya bahwa perbedaan itu membuat dia dan orang lain unik dan berharga. Dampingilah dia agar bisa menemukan “keindahan” dalam diri orang lain.
Lebih dari itu, jika kelak dia tidak percaya pada Tuhan yang Anda sembah, ajarkan dia agar setidak-tidaknya dia percaya dan menyembah nilai-nilai kemanusiaan dengan saling menghormati, mengasihi, memberikan yang terbaik bagi orang lain, bersikap adil terhadap sesama, tidak bersikap semena – mena dan bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku. Jika hal ini tidak kita pupuk sejak dini maka kekerasan demi kekerasan akan dilahirkan dari perbedaan.
Hentikan tindakan diskriminatif, rasisme dan kekerasan di lingkungan tempat tinggal, sekolah, tempat ibadah dan tempat kerja kita!
Oleh Pastor Martin Selitubun, Pr dari Keuskupan Agats Papua