21 C
Indonesia

5 Tahun Toko Tani Indonesia, Website Dan E-Government Tidak Jalan, Hasil Panen Petani Tetap Saja Tak Laku

Must read

Tomat petani di Kabupaten Karo, Sumatera Utara (The Editor)

JAKARTA – Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) diketahui arti TTI adalah toko/warung/kios milik pedagang hasil pertanian baik perorangan maupun lembaga yang ditetapkan BKP Kementerian Pertanian atau Dinas Ketahanan Pangan Provinsi/Kabupaten/Kota untuk menjual komoditas hasil pertanian dari TTIC ke masyarakat

Gelar pangan murah adalah salah satu cara yang diambil oleh pemerintah untuk menyalurkan pangan kepada masyarakat secara langsung dari TTIC yang dilakukan apabila terjadi potensi fluktuasi harga pangan pada saat harga tinggi maupun pada saat harga di petani jatuh.

Sayangnya, sejak 2016 hingga sekarang masih sering ditemukan harga bahan pangan yang tidak laku di pasaran. Beras misalnya, hari ini Senin (22/3) petani di Desa Panyingkiran, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat mengobral gabahnya dengan harga 300.000 per kuintal.

Baca Juga:

Pikiran Rakyat menyebutkan bahwa pria bernama Aep tersebut mengaku telah mendatangi tujuh bandar gabah di dua desa di Kecamatan Jatitujuh, dan ternyata tidak ada seorang bandar pun yang bersedia membeli.

Selain itu, pada September 2020 lalu beberapa petani di Malang, Jawa Timur membagikan sayuran secara gratis karena tak laku.

Sawi, kangkung, bayam dan sayuran lain diikat dan dibagikan ke pengguna jalan secara gratis. Pengendara mobil yang menerima terlihat senang saat mendapat sayuran tersebut. Hal baik yang bisa dilihat adalah petani tidak lagi anarkis saat hasil panen mereka tidak laku.

5 Tahun Berlalu 

Rencana TTI untuk memutus rantai pasok ternyata sudah sangat lama dinanti oleh petani. Pasalnya, selama ini harga beli yang mereka terima dari tengkulak dinilai oleh pemerintah terlalu rendah.

Ros, warga Desa Lambar, Kabupaten Tigapanah, Sumatera Utara ternyata mengaku sangat senang saat mengetahui keberadaan TTI milik Kementerian Pertanian.

“Kopi bagaimana, apakah juga ada tengkulaknya? Sekarang harganya sangat turun,” tanya Ros dengan polos saat The Editor mengenalkan aplikasi ini kepadanya.

Ia sama sekali tidak tahu apa itu TTI, namun Ia berharap TTI bisa menolong masyarakat di Kabupaten Karo yang bermata pencaharian sebagai petani.

Namun, Ros sedikit kecewa saat disodorkan website Sistem Informasi TTI yang bisa diakses lewat www.tti.pertanian.go.id/laporan/sumberdata/index? Karena harga kopi yang Ia cari ternyata tidak ada. Namun Ia tidak kecewa, Ia coba meminta panduan untuk mencari daftar harga beli telur, minyak makan dan beras. Setelah mencoba memasukkan beberapa perintah dalam situs tersebut, Ros ternyata makin kecewa. Ia yang juga memiliki warung sembako di rumahnya ternyata tidak bisa jadikan website TTI sebagai acuan harga pangan setiap hari.

Saat melihat komoditas telur yang harga satuannya dituliskan angka 0 ternyata diangap Ros sebagai sebuah bentuk alarm negatif.

“Tidak ada stok telur di Jakarta?” tanya Dia.

Dan sontak orang disekitarnya tertawa karena ketidaktahuan tersebut. Saat dijelaskan bila pemerintah tidak memperbaharui daftar harga di website tersebut, Ia akhirnya ikut tertawa.

“Kenapa tidak ada ya,” katanya saja sambil tertawa.

E-Commerce TTI Tidak Efektif, Justru Menciptakan Rantai Pasok Baru

Launching aplikasi e-commerce TTI yang sudah dilakukan sejak 2017 lalu ternyata masih sebatas B to B saja alias dari petani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) kepada pengelola TTI di tiap-tiap cabang kota dan daerah. Padahal, jumlah TTI masih sangat terbatas dan belum menjangkau semua tempat.

Padahal di era modern ini, aplikasi yang menjual produk sayur dan buah sudah ada. Misalnya, RegoPantes, Limakilo, Sayurbox, dan Etanee. Keempat situs jual beli ini mengklaim mampu memutus langsung rantai pasok yang selama ini merugikan petani dengan cara mengundang konsumen langsung membeli kepada mereka.

Mestinya, Kementan mampu menciptakan e-commerce yang lebih ramah kepada petani. Karena disadari atau tidak konsep B to B milik Kementan justru menciptakan rantai pasok baru. Karena untuk membeli sayur dan buah dari petani, konsumen harus melewati sistem yang mirip dengan perusahaan swasta yang tujuannya untuk mencari keuntungan. Padahal keberadaan TTI adalah untuk membantu petani agar tidak lagi ditipu oleh tengkulak.

Untuk diketahui, pemerintah di era Andi Amran Sulaiman mengajukan anggaran Rp200 Miliar melalui APBN Tahun Anggaran 2016 untuk pembiayaan program Toko Tani Indonesia (TTI) untuk mengendalikan gejolak harga.

Dengan anggaran semacam itu, semestinya Kementan bisa membangun sistem e-commerce canggih yang dinanti masyarakat.

Mida, warga yang tinggal di Desa Lambar, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara mengatakan bila Ia juga sangat senang bila terdapat TTI di desa atau kotanya. Jadi tidak akan ada lagi permainan harga di tingkat pasar karena di Kabupaten Karo petani sering kali mengalami rugi saat panen karena harga anjlok.

“Kami juga senanglah kalau ada TTI yang akan menampung sayuran kami. Setidaknya tidak perlu menunggu sampai malam di pasar agar ada perubahan harga saat jual sayur. Kalau harga murah kan bisa lapor langsung ke TTI,” kata wanita dua anak ini.

Sistem e-commerce TTI seharusnya menjadi sarana Kementan untuk membangun sistem pertanian yang mudah dan murah. Sistem ini diyakini akan menjadi wahana pembelajaran baru masyarakat yang saat ini tengah menggandrungi penggunaan teknologi canggih seperti handphone.

Seharusnya Kementan memanfaatkan momen ini, bukan menyesuaikan diri dengan euforia politik kepentingan pejabat yang selalu berganti setiap empat tahun sekali.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru