THE EDITOR – Rektor Univeristas Gadjah Mada (UGM) Professor Ova Emilia Rektor UGM mengatakan bila Universitas Gadjah Mada menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan secara berintegritas. Salah satunya, dalam memberikan gelar akademik.
“Itu integritas, integritas itu memang penting,” katanya saat kepada The Editor saat ditemui dalam acara Musyawarah Nasional Kagama XIV yang berlangsung, Sabtu (16/11) di Hotel Mercure Convention Center Ancol, Jakarta.
Meski demikian, menurutnya, tidak semua gelar akademik diperoleh dari pendidikan secara formal di universitas. Karena biasanya beberapa orang di dunia ini mendapat penghargaan oleh pemerintah karena karya mereka yang dinilai memiliki kualitas yang tinggi.
Bagaimana Caranya?
Salah satu gelar akademik yang diberikan tanpa perlu menempuh pendidikan formal di perguruan tinggi disebut gelar Honoris Causa (H.C.). Gelar ini diberikan kepada seseorang yang dinilai telah berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia.
Selain itu, gelar ini juga diberikan kepada mereka-mereka yang tidak berkecimpung di dunia pendidikan seperti dosen, dekan atau rektor.
Tak hanya itu, lanjutnya, penghargaan seperti ini tidak bisa diperjualbelikan.
“Tapi orang kadang-kadang kalau saya melihat orang terlalu cepat menghakimi. Saya background saya dokter tapi saya punya background sampai S3 bidang pendidikan kedokteran dan saya memahami itu. Maksudnya gini, Indonesia sekarang bisa menghargai misalnya pengalaman orang atau karya orang walaupun dia bukan dosen dan bukan orang yang sekolah secara formal, itu sebenarnya secara pendidikan sah-sah saja. Jadi artinya tergantung tapi bukan yang ecek-ecek ya jual beli,” ungkapnya lagi.
Professor Ova mengatakan bila UGM sendiri sebagai universitas yang sangat heterogen memiliki aturan yang sangat ketat dalam pemberian gelar semacam itu kepada masyarakat.
Terkadang ia sendiri menilai aturan yang telah berlaku selama puluhan tahun berdiri, sejak 19 Desember 1949 sangat ketat dan cenderung membuatnya tidak setuju.
Namun, dalam proses pengujian akan sebuah teori dari mahasiswa, Professor Ova yakin UGM akan melakukan seleksi yang sangat tinggi karena bagian dari budaya universitas itu sendiri.
“Jadi sudah semestinya universitas dan UGM itu didalamnya sangat heterogen dan balancing tentang hal tersebut sangat kuat. Bahkan kadang-kadang terlalu kuat, terlalu ketat,” kata Professor Ova sembari tersenyum.
Meski demikian, Professor Ova menilai aturan dan seleksi yang sangat ketat itu sah-sah saja karena memang untuk masuk ke UGM dan belajar di sana juga sangat sulit.
Sehingga, kasus pemberian gelar yang tidak disengaja atau di luar aturan seleksi dan penilaian yang tidak wajar sangat mustahil terjadi.
“Saya kadang-kadang nggak setuju gitu lho. Orang masuk saja sudah susah banget tapi di dalamnya juga di judge dengan sangat ketat. Tapi it’s okay he-he-he,” tutupnya.
great article