THE EDITOR – Apakah anda adalah satu dari sebagian masyarakat yang ingin membangun rumah di musim penghujan ini? The Editor akan membantu anda dalam menentukan lokasi dimana anda akan membangun rumah anda dengan baik sehingga terhindar dari bencana dan terhindar dari resiko yang tidak diinginkan.
MENGAPA HAL DEMIKIAN HARUS DILAKUKAN?
Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) Dyah Murtiningsih mengatakan masyarakat harus memahami tentang Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Pasalnya, masyarakat sangat suka tinggal di sempadan sungai padahal tidak direkomendasikan.
“Enggak dong,” kata Dyah saat ditanya apakah direkomendasikan tinggal di sempadan sungai oleh The Editor dalam acara Munas Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) di Ancol beberapa waktu lalu.
Kata Dyah, daerah aliran sungai mencakup diantaranya daerah tangkapan air yang berfungsi untuk menyerap air yang memerlukan pendukung seperti pohon.
Sayangnya, lanjut Dyah, banyak masyarakat yang mengabaikan aturan ini dan akhirnya harus menghadapi bencana banjir yang datang saat air meluap.
“Mereka akan hidup dengan menghadapi air sungai yang meluap sewaktu-waktu sehingga harus hidup dengan rumah yang ditinggikan,” katanya.

BAGAIMANA DENGAN GEDUNG TINGGI DAN APARTEMEN MEWAH DI KAWASAN THAMRIN – SUDIRMAN JAKARTA?
Dyah juga mengaku sangat miris dengan tanggapan pengamat yang menilai bahwa sempadan sungai yang ada di kawasan Thamrin-Sudirman tidak bisa dibebaskan dari pemukiman dan gedung tinggi karena masyarakat di berbagai kelas sosial memang sangat suka tinggal di pinggiran sungai yang berada di jantung kota Jakarta.
“Sangat miris sebenarnya. Harusnya direlokasi (masyarakatnya) tapi (mereka) milih untuk adaptasi. Tapi kalau adaptasi mereka harus siap dengan resiko yang terjadi karena daya tampung DAS (daerah aliran sungai) tidak bisa berjalan optimal,” kata Dyah lagi.
Dari penjelasan Dyah, siapapun yang tinggal di area kanan kiri sungai harus siap dengan berbagai permasalahan sosial seperti sampah, Daerah Tangkapan Air (DTA) yang rusak dan sungai rusak akibat tingkah manusia.
Dyah juga prihatin dengan bangunan-bangunan yang berada di Daerah Tangkapan Air (DTA) yang dibangun dengan sistem tertentu agar tahan banjir.
Salah satu cara agar bangunan tinggi dan bangunan sederhana di kawasan mewah Jakarta tidak diterjang oleh banjir, maka pemerintah harus menyelesaikan persoalan dari hulu hingga ke hilir. Salah satunya dengan mengeruk sungai-sungai secara rutin, menjaga area resapan air, menjaga area banjir kanal timur dan menata pemukiman.
“Bila tidak dilakukan secara kontiniu pastinya akan menambah beban sungai,” katanya.
DAS SERING DIANGGAP TIDAK PENTING

Dyah mengatakan selama ini aturan DAS dianggap tidak penting oleh masyarakat dan pihak tertentu seperti pengembang.
Minimnya komitmen terhadap tata ruang ini, kata Dyah, mempengaruhi kualitas manusia yang akan tinggal disana.
Bila memang harus tinggal di pinggir sungai, Dyah merekomendasikan agar masyarakat memilih daerah yang memang memiliki karakter budaya masyarakat yang terbiasa tinggal di kanan kiri sungai sehingga bisa hidup berdampingan dengan alam.
Jakarta sendiri, kata Dyah, tidak memiliki budaya masyarakat yang tinggal di pinggir sungai. Selama ini, menurutnya masyarakat suka di pinggir sungai karena alamnya yang indah.
Namun, kerusakan lingkungan akibat tidak mematuhi aturan dalam tata ruang menjadi bahan pertimbangan yang perlu diperhatikan saat memilih properti. Bila tidak, maka bayang-bayang bencana seperti banjir akan menghampiri saat air meluap.
BAGAIMANA ATURAN HUNIAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI?

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 28/PRT/M/2015 Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau dalam Pasal 5 adalah sebagai berikut:
A. Garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, ditentukan:
a. paling sedikit berjarak 10 (sepuluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 (tiga) meter;
b. paling sedikit berjarak 15 (lima belas) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 (tiga) meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter; dan
c. paling sedikit berjarak 30 (tiga puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 (dua puluh) meter.
B. Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, terdiri atas:
a. sungai besar dengan luas daerah aliran sungai lebih besar dari 500 (lima ratus) Km2;
b. sungai kecil dengan luas daerah aliran sungai kurang dari atau sama dengan 500 (lima ratus) Km2.
C. Garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditentukan paling sedikit berjarak 100 (seratus) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
D. Garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditentukan paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
E. Garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditentukan paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
Pasal 6
1. Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, terdiri atas:
a. sungai besar dengan luas daerah aliran sungai lebih besar dari 500 (lima ratus) Km2; dan
b. sungai kecil dengan luas daerah aliran sungai kurang dari atau sama dengan 500 (lima ratus) Km2.
2. Garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditentukan paling sedikit berjarak 100 (seratus) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
3. Garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditentukan paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.

Pasal 7
Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, ditentukan paling sedikit berjarak 3 (tiga) meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.
Pasal 8
Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, ditentukan paling sedikit berjarak 5 (lima) meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.
Pasal 9
Dalam hal di dalam sempadan sungai terdapat tanggul untuk mengendalikan banjir, ruang antara tepi palung sungai dan tepi dalam kaki tanggul merupakan bantaran sungai, yang berfungsi sebagai ruang penyalur banjir.
Pasal 10
Penentuan garis sempadan sungai yang terpengaruh pasang air laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e, dilakukan dengan cara yang sama dengan penentuan garis sempadan sungai sesuai Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 yang diukur dari tepi muka air pasang rata-rata.
Pasal 11
Garis sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f, ditentukan mengelilingi mata air paling sedikit berjarak 200 (dua ratus) meter dari pusat mata air.
Pasal 12
1. Garis sempadan danau ditentukan mengelilingi danau paling sedikit berjarak 50 (lima puluh) meter dari tepi muka air tertinggi yang pernah terjadi.
2. Muka air tertinggi yang pernah terjadi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, menjadi batas badan danau.
3. Badan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan ruang yang berfungsi sebagai wadah air.
Pasal 13 Penetapan garis sempadan sungai dilakukan oleh:
1. Menteri, untuk sungai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
2. Gubernur, untuk sungai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan
3. Bupati/walikota, untuk sungai pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.