JAKARTA – Berubah fungsinya museum Hagia Sophia menjadi masjid masih terus memancing opini panas dari seluruh dunia. Pasalnya, kerja keras Presiden Pertama Turki Mustafa Kemal Ataturk mengubah ideologi negara Turki menjadi sekuler dan nasionalis berakhir sia-sia.
Sebagaimana diketahui, sejak kekalahan bangsa Eropa dalam Perang Salib, Gereja Hagia Sophia beralih fungsi menjadi bangunan masjid. Seluruh relief yang ada di gereja ini ditutup dengan semen agar tidak terlihat dan sesuai dengan hukum Islam.
“Setelah abad ke-15 muncullah Bapak Turki, Mustafa Kemal Ataturk. Ketika Ia menjadikan Turki sebagai republik Turki modern, Ia mengubah Hagia Sophia menjadi museum,” ujar Pengajar Kitab Ibrani Asal Indonesia Rita Wahyu Wulandari saat berbincang dengan The Editor beberapa waktu lalu.
“Apa yang dulu ditutup di jaman Utsman, direlokasi kembali,” katanya lagi.
Ia menjelaskan bahwa, Mustafa Kemal Ataturk pada jamannya memberi perhatian besar kepada Hagia Sophia dengan mendatangkan arkeolog asal Amerika Serikat Thomas Whittemore untuk memperbaiki relief-relief yang sudah ditutup dengan semen oleh kerajaan Utsmaniyah.
Mustafa meminta Thomas untuk mempelajari cara terbaik untuk merestorasi gereja ini dengan cara yang sempurna. Misalnya, relief yang berada di bumbungan kubah Hagia Sophia. Gambar Yesus yang tengah dipangku oleh Bunda Maria usai kematiannya dengan warna emas menyala ini dikembalikan dengan sempurna oleh Thomas saat itu.
“Gambar ini sudah ditutup oleh Dinasti Usman dan dibalikkan dan dilukis ulang. Tapi kan tidak sempurna,” ungkapnya.
Menurut Rita, restorasi yang dilakukan oleh Mustafa sanat menggugah emosi masyarakat Kristen se-dunia., terutama Orthodox. Kekalahan Perang Salib yang membawa kepahitan masa lalu ternyata mampu diobati oleh Mustafa.
“Kita juga sangat menghargai Mustafa karena itu,” jelasnya.
Namun, sikap Presiden Recep Tayyip Erdogan ternyata mengundang ketakutan para arkeolog di seluruh dunia. Karena kerja keras Thomas Whittemore yang merestorasi Hagia Sophia dikhawatirkan akan dirusak kembali.
Rita pribadi mengaku sangat khawatir bila nanti penutupan tersebut dilakukan kembali dengan menggunakan semen dan cat warna. Sayangnya, kedaulatan Presiden Erdogan atas Hagia Sophia yang berada di atas tanah negaranya membuat banyak pihak skeptis atas nasib Hagia Sophia kedepannya.
“Kita bisa apa kalau sudah begitu. Meski Hagia Sopha sudah dilindungi oleh UNESCO tapi secara teritori adalah milik Turki. Itu yang dunia internasional tidak bisa menekan Erdogan,” jelasnya.
“Saat ini kan masih ditutup dengan kelambu, tapi kan kita tidak tahu apakah nanti akan ditutup dengan semen. Dan, satu-satunya momen yang menghentikan Erdogan tidak mengambil langkah selanjutnya terhadap Hagia Sophia adalah pandemi Covid-19,” jelasnya.
Kekhawatiran semacam ini menurut Rita sangat berdasar karena berdasarkan sejarah, Islam memiliki kecenderungan merusak benda-benda peninggalan sejarah. Dan banyak bukti yang menunjukkan perilaku demikian selalu berafiliasi dengan Islam.
Salah satunya adalah penghancuran peninggalan sisa-sisa kerajaan Babilonia yang dirusak oleh ISIS. Para arkeolog dunia sangat mengkritisi saat ISIS merusak patung-patung dan buku peninggalan kerajaan Babilonia di Mosul, Irak.
“Begitu juga dengan Taliban mengusai Afghanistan yang merusak patung Buddha di Bamiyan. Patung raksasa itu di bom. Jadi terhadap Islam ekstrimisme kanan ini apakah Erdogan juga akan bersikap seperti itu? Kita belum tahu,” pungkasnya.
Kurang setuju dgn argumen yg dipakai bahwa Islam cenderung merusak benda-benda bersejarah, Taliban dan Isis adalah extrimis, mereka memang cenderung merusak akan tetapi Islam yang sesuangguhnya merawat dan melestarikan warisan budaya, di Indonesia banyak yang seperti ini, saya yakin di Turki juga. Tentu saja Presiden Erdogan harus membuktikan dirinya tidak melakukan perubahan apa-apa thd Hagia Sophia