IRAN – Seorang remaja di Iran dinyatakan berada dalam kondisi “mati otak” setelah diduga diserang oleh polisi moral di negara itu karena tidak mengenakan penutup kepala (hijab).
Menurut para aktivis, remaja tersebut, yang diidentifikasi sebagai Armita Geravand, sempat mengalami koma sebelum dinyatakan mati otak setelah menjalani perawatan di rumah sakit karena cedera kepala akibat serangan tersebut.
Melansir CNN, penyerangan tersebut terjadi di stasiun metro Teheran pada awal bulan ini, beberapa pekan setelah Iran mengesahkan undang-undang yang kejam yang menerapkan hukuman lebih keras terhadap perempuan yang melanggar aturan hijab.
“Tindak lanjut terhadap kondisi kesehatan terkini Armita Geravand menunjukkan bahwa kondisi kematian otaknya tampaknya pasti terjadi meskipun ada upaya dari staf medis,” demikian dilaporkan kantor berita Tasnim pada Minggu (22/10), tanpa memberikan sumber informasinya.
Sebelumnya, Organisasi Hak Asasi Manusia Hengaw yang berbasis di Norwegia, yang berfokus pada hak-hak orang Kurdi, mengatakan Geravand “diserang” oleh polisi moral dan mengalami koma.
Jaringan oposisi lainnya, IranWire, mengatakan Geravand dirawat di rumah sakit karena “trauma kepala”.
Staf Hengaw, Awyer Shekhi, sebelumnya mengatakan kepada CNN bahwa petugas polisi moral perempuan telah mendekati Geravand di dekat stasiun metro Shohada dan memintanya untuk menyesuaikan jilbabnya.
“Permintaan ini mengakibatkan perselisihan dengan petugas polisi moral yang menyerang Geravand secara fisik. Ia didorong, menyebabkannya terjatuh,” kata Shekhi.
Pihak berwenang Iran membantah tuduhan tersebut, mengatakan Geravand dirawat di rumah sakit karena cedera yang disebabkan oleh tekanan darah rendah.
Teman-teman dan keluarga Geravand juga menyuarakan penolakan tersebut dalam wawancara dengan media pemerintah, namun tidak jelas apakah mereka dipaksa melakukan hal tersebut.
Kemungkinan tersebut menyusul tuduhan para pejabat PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia yang mengatakan pemerintah Iran menekan keluarga pengunjuk rasa yang terbunuh untuk membuat pernyataan yang mendukung narasi pemerintah.
Parlemen Iran pada September meloloskan apa yang disebut “RUU hijab” mengenai penggunaan pakaian, yang jika dilanggar dapat mengakibatkan hukuman hingga 10 tahun penjara.
Lolosnya RUU tersebut menyusul peringatan pertama protes massal yang dipicu oleh wafatnya Mahsa Amini, seorang perempuan Kurdi-Iran yang meninggal setelah ditahan oleh polisi moral diduga karena tidak mematuhi aturan berpakaian di sana.