THE EDITOR – Program cetak sawah dianggap sebagai kebijakan frustasi dan spekulatif milik Presiden Joko Widodo yang akan menelan dana APBN saja tanpa memberi hasil apapun.
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan mengatakan karena program cetak sawah hanya akan menelan dana APBN yang besar tanpa pernah menyelesaikan persoalan pangan di Indonesia.
“Karena, masalah pangan bukan hanya masalah produksi, atau masalah swasembada. Tetapi, juga masalah kesejahteraan petani. Artinya, masalah utama pangan adalah, bagaimana meningkatkan produksi pangan, yang sekaligus juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Faktor terakhir ini, kesejahteraan petani, bahkan jauh lebih penting, dan harus menjadi prioritas utama. Sedangkan proyek ‘cetak sawah’ food estate, yang akan menelan dana APBN puluhan triliun rupiah, tidak bisa memenuhi kedua tujuan di atas secara bersamaan,” ungkap Anthony dalam keterangan yang diterima oleh The Editor pada Senin (8/10/2024).
Tak hanya program cetak sawah, Anthony juga mengkritisi proyek food estate yang menurutnya akan menurunkan kesejahteraan petani.
KENAPA DEMIKIAN?
Dari analisa Anthony, diketahui bila program food estate telah menciptakan dua klaster produksi padi dengan karakteristik sangat berbeda yang dilakukan oleh dua ‘pelaku usaha’ berbeda.
Klaster pertama, ia sebutkan bila selama ini produksi padi dilakukan oleh petani ‘gurem’ dengan cara tradisional seperti yang selama ini dilakukan oleh para petani di Indonesia dengan struktur biaya produksi yang dia anggap relatif cukup tinggi.
Klaster kedua, ia juga menyebutkan bila produksi padi dilakukan di area food estate yang sangat luas dan dilakukan oleh “badan usaha” (swasta atau negara) dengan metode alat berat modern yang dilengkapi dengan aplikasi pertanian tercanggih.
Kondisi ini dianggap membuat biaya tanam di food estate di klaster kedua akan jauh lebih rendah dari biaya tanam di klaster pertama.
Dampak dari dua klaster produksi ini dinilai sangat memprihatinkan karena menurutnya harga gabah nasional akan tertekan, mengikuti biaya produksi padi di food estate yang lebih rendah.
“Hal ini membuat pendapatan petani di klaster pertama (non-food estate) tertekan, membuat kesejahteraan petani anjlok. Dampak ini bersifat permanen. Dampak lanjutannya, petani padi akan beralih ke tanaman lain, membuat produksi padi nasional anjlok ke tingkat yang dapat menetralisir kenaikan produksi padi di food estate, bahkan lebih rendah. Ironi,” ungkapnya.
Sebaliknya, masih kata Anthony, kalau food estate gagal, seperti perkiraan banyak pakar pertanian, termasuk guru besar IPB Professor Dwi Andreas Santosa yang berpendapat bahwa food estate akan gagal, maka alasan yang dikemukan oleh Professor Andreas sangat rasional dan masuk akal.