THE EDITOR – Pilkada seharusnya jadi ruang bagi akademisi untuk ikut bersuara agar masyarakat dapat memilih kontestan politik yang paling cerdas dan ulet dalam mambangun daerahnya masing-masing.
““Seharusnya menjadi ruang bagi para akademisi. Ibaratnya hari ini, tingkat kepekaan orang itu berubah seolah-olah orang yang punya followers banyak itu terpercaya. Padahal kita orang akademisi tahu bahwa orang yang punya banyak followers itu belum tentu memiliki plan legitimate pada politik yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,” demikian dikatakan oleh Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago saat berbincang dengan The Editor pada Selasa (1/10/2024).
Anthony mengingatkan bila para kontestan politik sengaja mengundang para influencer yang tidak peduli pada gagasan kerja mereka. Jadi, bila diviralkan di media sosial maka kandidat yang bersangkutan akan terlihat pintar meski tanpa visi dan misi sama sekali.
“Jadi, hanya mengumpulkan banyak orang lalu live, persepsi itu yang dicari,” katanya.
“Menurut (para kandidat), hari gini yang jadi pakar adalah para influencer yang jadi followers, bukan orang yang peduli pada gagasan,” jelasnya.
Pertumbuhan generasi Gen-Z memang sangat tinggi, kata Anthony, namun, ia tetap berharap kandidat politik yang ingin maju di Pilkada adalah orang yang pintar dan tidak menyalahgunakan fungsi media sosial.
Selain itu, Anthony ingin agar para kandidat yang maju di Pilkada juga tidak sekedar bereksperimen di lapangan dengan media sosial.
“Jadi, ini eksperimen bagi kepala daerah apakah ini gagal atau tidak akan dilihat di Pilkada ini. Mereka bereksperimen apakah menjadi viral akan terpilih atau tidak. Kan kita berasumsi,” jelasnya.
Ia menilai Pilkada di tahun 2020 tidak menggunakan media sosial seperti di Pilkada di tahun 2024 ini.
“Cukup aneh. Pertanyaannya adalah apakah viral itu menentukan terpilih atau tidak,” jelasnya.
Bila hanya mengandalkan media sosial, lanjutnya, maka hanya akan terpilih kepala daerah yang meniru gaya masyarakat kota dan mengabaikan kebutuhan masyarakat lokal.
Fenomena ini menurut Anthony harus diketahui oleh para kandidat karena viral di media sosial belum tentu membuat mereka dipilih oleh masyarakat.
“Masyarakat sudah cerdas, mereka nikmati viral tapi kalau memilih nantinya pilih yang lain, yang lebih layak,” tandasnya.