THE EDITOR – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong, menteri perdagangan 2015-2016, sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang impor gula 2015. Penetapan tersangka kepada Tom Lembong mengundang tanda tanya besar terhadap sistem peradilan di negeri ini. Karena penetapan tersangka ini diduga kuat bermotif politik, bukan untuk penegakan hukum yang berkeadilan. Hal ini juga mengancam penegakan demokrasi, membasmi oposisi.
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan menjelaskan kejanggalan atas penetapan status tersangka kepada Tom Lembong.
“Tom Lembong dituduh menyalahgunakan wewenang dalam pemberian izin impor gula kristal mentah (raw sugar) sebanyak 105.000 ribu ton kepada perusahaan swasta, PT AP, untuk diolah menjadi gula kristal putih (gula konsumsi), pada tahun 2015. Menurut Kejagung pemberian izin impor gula kristal mentah tersebut melanggar aturan tentang ketentuan impor gula,” ungkap Anthony dalam keterangan yang diterima The Editor pada Kamis (31/10/2024).
Pertama, lanjutnya, menurut Kejagung, Tom Lembong memberi izin impor gula ketika Indonesia sedang mengalami surplus gula, sehingga, seharusnya, tidak perlu impor.
Menurutnya, alasan yang dipakai Tom Lembong bahwa Indonesia mengalami surplus gula sangat mengada-ada karena Indonesia sejak lama merupakan negara importir gula.
“Jadi, bagaimana mungkin bisa mengalami surplus gula pada 2015?” ungkapnya.
Ia menjelaskan pendapatnya dengan mengusung data dari Badan Pusat Statistik yang menunjukkan volume impor gula naik dari angka 1.119.790 ton pada 2004 menjadi 2.933.823 ton pada 2014 dan 3.369.941 ton pada 2015, kemudian naik kembali hingga 5,5 juta ton pada 2020 dan 6 juta ton pada 2022.
“Maka itu, sekali lagi, bagaimana mungkin Indonesia mengalami surplus gula pada 2015?” tanya Anthony.
Menurutnya lagi, terkait izin impor gula kristal mentah yang dikeluarkan oleh tom Lembong pada tahun 2015 yang mencapai 105.000 ton saja, menurut Anthony angka tersebut sangat kecil atau tidak signifikan karena hanya 3,1 persen dari total impor gula tahun 2015.
“Sehingga otomatis bertentangan dengan tuduhan “menyalahgunakan wewenang”, katanya.
Alasan kedua yang membuat penangkapan Tom Lembong adalah karena Kejagung berpendapat, izin impor gula kristal putih hanya dapat diberikan kepada BUMN.
Oleh karena itu, menurut Kejagung, Tom Lembong melanggar peraturan ini dengan menyalahgunakan wewenang karena memberi izin impor gula kepada perusahaan swasta yaitu PT AP.
Menurut Anthony, alasan Kejagung terkesan mengaburkan permasalahan sebenarnya, serta memutarbalikkan fakta.
“Memang benar yang boleh impor *gula kristal putih* adalah perusahaan BUMN. Tetapi tidak relevan untuk kasus Tom Lembong. Karena izin impor yang diberikan Tom Lembong kepada perusahaan swasta yang sudah mempunyai izin impor gula (IP Gula atau API-P) adalah gula kristal mentah, yaitu bahan baku hilirisasi untuk diproses menjadi gula kristal rafinasi dan gula kristal Putih. Hal ini sah menurut peraturan ketentuan impor gula yang berlaku ketika itu. Artinya, Tom Lembong tidak melanggar aturan,” ungkapnya lagi.
Kemudian, kata anthony, Tom Lembong dituduh atas kasus pemberian izin impor gula yang terjadi tahun 2015.
Kasus ini menurutnya sangat sederhana dan mudah dibuktikan karena semua dokumen pemberian izin impor tersimpan di kementerian perdagangan.
“Hanya dengan melakukan audit internal saja, semuanya akan terbuka,” ungkap tom Lembong.
Anehnya lagi, kata Anthon, Kejagung memerlukan waktu hampir 10 tahun untuk bisa menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka.
“Kenapa begitu lama untuk kasus yang sangat sederhana ini?” tanya Anthony.
Alasan penetapan tersangka kepada Tom Lembong juga menurutnya terkesan mengada-ada dan tidak masuk akal.
Sejauh ini, Anthony menilai Kejagung tidak menemukan aliran dana fee kepada Tom Lembong.
“Masih dicari terus. Yang penting menetapkan tersangka dulu. Bukti belakangan?” ungkapnya.
Menurutnya, tanpa dua alat bukti yang sah, penetapan tersangka dan penahanan terhadap Tom Lembong tidak sah secara hukum. Oleh karena itu, atas nama keadilan dan hukum, ia meminta agar Tom Lembong segera dibebaskan.
Karena bila tidak maka hal ini menguatkan dugaan bahwa penetapan status tersangka kepada Tom Lembong didominasi intrik politik, bukan untuk keadilan.
“Yang lebih hebat lagi, ada mobilisasi publikasi secara sistematis untuk menghakimi Tom Lembong seakan-akan sudah bersalah, mengabaikan azas praduga tidak bersalah. Nampaknya ada kesengajaan grand design pembunuhan karakter kepada Tom Lembong?” tandasnya.