21.2 C
Indonesia

Menciptakan Perayaan Hari Buruh: Dari Jeritan Pabrik Ke Blockchain Penyelamat

Must read

“Perjuangan buruh menjadi tanggung jawab kita semua untuk segera diakhiri dengan sebuah kesejahteraan. Di balik asap pabrik dan teriakan demo, ada cerita tentang manusia yang terperangkap dalam roda sistem yang menggilas. Tapi bagaimana jika kesejahteraan itu bukan lagi mimpi, melainkan kode yang bisa diprogram ulang?”

Di lorong-lorong kawasan industri, jeritan mesin bersahutan dengan teriakan demo buruh. Setiap 1 Mei, jalanan dipenuhi tuntutan kenaikan upah, tapi setelahnya yang tersisa hanyalah debu keputusasaan. 

Budi, buruh pabrik sepatu di Tangerang, tahu betul rasanya: upah Rp 5 juta sebulan dirasa selalu kurang dengan biaya hidup yang kian melambung tinggi. 

Baca Juga:

Tapi di era dimana segala hal bisa diubah menjadi kode digital, mungkinkah jeritan buruh seperti Budi dijawab bukan oleh pengusaha atau pemerintah, melainkan oleh teknologi yang adil?

DARI MESIN UAP KE MESIN PROFIT: KISAH BURUH YANG TAK PERNAH BERUBAH

“Buruh modern adalah anak kandung Revolusi Industri — lahir dari mesin uap yang menghisap keringat, lalu dijual sebagai ‘aset’ di neraca keuangan konglomerat.”

Sejarah buruh dimulai dengan Revolusi Industri, ketika manusia diubah menjadi bagian dari mesin. Anak-anak 8 tahun di Inggris abad ke-19 bekerja 16 jam sehari di pabrik tekstil, hanya untuk upah yang tak cukup membeli sepotong roti. 

Ilustrasi Blockchain (FOTO: Istimewa/THE EDITOR)
Ilustrasi Blockchain (FOTO: Istimewa/THE EDITOR)Ilustrasi Blockchain (FOTO: Istimewa/THE EDITOR)

Dua abad kemudian, di Karawang 2024, Budi dan kawan-kawannya berdemo menuntut UMP Rp 5 juta, namun masih tidak sanggup untuk membeli produk yang dibuat olenya. 

Ironisnya, pola itu tetap sama: upah buruh hanyalah angka receh dalam laporan keuangan perusahaan.

Contoh nyata: Sepatu merek global dijual Rp 800.000, tapi upah buruh hanya Rp 40.000 per pasang. Dari total harga jual, hanya 2-5% yang masuk ke kantong buruh. 

Sementara itu, laba bersih perusahaan mencapai Rp 1,2 triliun per tahun—angka yang cukup untuk membeli 240.000 sepeda motor bagi para buruh. Tapi alih-alih berbagi, pengusaha lebih memilih memindahkan pabrik ke Vietnam begitu upah dinaikkan 15%.

“Kapitalis berbisik: ‘Buruh itu seperti oli mesin — murah, bisa diganti, dan wajib mengalir demi profit.’ Tapi oli pun bisa meledak.”

LINGKARAN SETAN DEMO, PHK DAN DILEMA PENGUSAHA

Setiap tuntutan kenaikan upah berujung pada ancaman yang sama, yakni “Pabrik akan tutup!”. 

Di Bekasi, PT Sentosa Abadi, pemasok garmen untuk merek Eropa baru saja merumahkan 1.200 buruh.

Alasannya klasik, yakni kenaikan UMP 12% disebut terlalu membebani keuangan perusahaan. Padahal, laba mereka tahun lalu mencapai Rp 950 miliar.

Buruh pun terjebak dalam siklus neraka yang membuat mereka harus mogok selama 3 hari untuk tuntutan upah, sementara itu pabrik mulai mencari negara baru yang harga upah buruhnya lebih rendah.

Selain itu, siklus neraka lain yang aka muncul adalah izin impor yang tak berkesudahan dari pemerintah yang membuat pasar lokal hancur serta pengangguran buruh yang beralih jadi tukang ojek dan pedagang kaki lima.

Ilustrasi Blockchain (FOTO: Istimewa/THE EDITOR)
Ilustrasi Blockchain (FOTO: Istimewa/THE EDITOR)

Dalam beberapa berita, kita mungkin pernah melihat pemilik pabrik dan buruh menangis bersama-sama dan mengucapkan salam perpisahan karena mengalami kerugian dan terpaksa ditutup, yah inilah dilema yang terjadi hari ini, dimana para pengusaha juga harus berjuang dengan berbagai macam faktor yang tidak hanya menghambat omzet, tetapi menghancurkan keseluruhan cash flow perusahaan tersebut tanpa ada bantuan yang nyata dari pemangku kebijakan.

“Ini bukan lagi pertarungan buruh vs pengusaha, tapi algoritma kejam di mana manusia hanya variabel yang bisa di-delete.”

TOKENISASI PABRIK: KETIKA MESIN UAP BERTEMU BLOCKCHAIN

Tapi bagaimana jika pabrik tak lagi milik segelintir konglomerat, melainkan dikelola oleh buruh sendiri melalui smart contract? 

Inilah ide gila tokenisasi pabrik ala blockchain, pertama Kepemilikan Kolektif dimana 50% saham pabrik diubah jadi 1 juta token digital. Sehingga buruh dapat 30%, masyarakat beli 20% via crowdfunding, sisanya untuk investor.

Kedua, Profit Sharing Otomatis dimana laba Rp 100 miliar/tahun dengan 20% diantaranya langsung masuk dompet digital buruh (dapat dikalkulasikan sebesar Rp 20 miliar = Rp 16,6 juta/tahun per buruh).

Ketiga, Hak Veto, yaitu keputusan PHK atau relokasi harus disetujui lewat voting token.

Contoh nyata di Jerman dimana Pabrik AutoWork yang di-tokenisasi sukses naikkan produktivitas 35% karena buruh merasa “ini aset kami, bukan sekadar tempat kerja”. 

Di Indonesia, bayangkan pabrik tekstil di Bandung yang goyah bisa diselamatkan dengan skema serupa. Masyarakat bisa investasi Rp 1 juta untuk beli token, dapat dividen Rp 200.000/tahun plus hak suara.

INDONESIA DI PERSIMPANGAN: JADI PERCOBAAN ATAU PELOPOR?

Skenario ini bukan mimpi. Tapi jalan menuju blockchain untuk buruh dipenuhi duri.

Bagaimana caranya? 

Pertama, membuang mentalitas oligarki karena sistem ini biasa erat dengan cara pengusaha tradisional menolak kehilangan kontrol.

Kedua, memperbaiki regulasi yang tertinggal dengan mengubah UU Cipta Kerja yang belum mengakui kepemilikan token sebagai hak hukum.

Ketiga, literasi digital karena masih banyak buruh belum paham cara pakai dompet kripto.

ATM kripto di Arizona (FOTO: Dominic Valente/Bloomberg via Getty Images/The Guardian/THE EDITOR)
ATM kripto di Arizona (FOTO: Dominic Valente/Bloomberg via Getty Images/The Guardian/THE EDITOR)

Tapi lihat Vietnam, negeri itu kini jadi basis produksi Samsung setelah mereformasi 200 aturan investasi dalam 5 tahun. Indonesia bisa mencontoh dengan tambahan sentuhan revolusioner.

Caranya dengan mengubah 10 kawasan industri jadi blockchain hub dengan pajak 0% selama 10 tahun, memberi pelatihan coding dan manajemen keuangan digital untuk 1 juta buruh, menggandeng platform crowdfunding global untuk tokenisasi pabrik.

“Kami tak butuh utopia,” kata Budi, “kami hanya ingin upah yang cukup untuk hidup dan rasa aman bahwa besok pabrik masih buka.”

EPILOG: HARI BURUH 2030, KETIKA DIVIDEN MENGGANTIKAN DEMO

Bayangkan 1 Mei 2030 dimana ribuan buruh berkumpul bukan untuk demo, tapi merayakan pembagian dividen token mereka di stadion GBK (Gelora Bung Karno).

Setiap keputusan pabrik—dari pembelian mesin hingga ekspansi—bisa dipantau lewat aplikasi. Upah dasar Rp 10 juta plus bagi hasil 5% dari laba.

Blockchain bukan penyihir, tapi alat untuk memaksa transparansi. Ia memastikan tak ada lagi markup bahan baku fiktif, tak ada laba yang disembunyikan di surga pajak

Blokchain bukan sekadar teknologi — ia adalah palu godam penghancur belenggu status quo. Buruh bukan lagi pelaku ekonomi yang direndahkan, tapi pemilik sah masa depan.

Oleh: Sabdo Yusmintiarto – Ketua Indonesia Real World Asset Tokenization (IRWATA)

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru