THE EDITOR – Pihak kepolisian wajib menyediakan pendampingan hukum dan psikososial pada anak-anak yang akan ditanyai oleh aparat, terutama mereka yang menjadi korban pelecehan seksual.
Demikian dikatakan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dian Sasmita dalam menanggapi kasus kejahatan seksual (sodomi) yang dilakukan oleh pria berinisial OSM (35) pada puluhan anak-anak di Desa Tanjung Merawa, Kecamatan Tiganderket, Kabupaten Karo, Indonesia.
Polisi Wanita (Polwan) yang menangani kasus tersebut diketahui tidak menyediakan pendamping terhadap anak-anak tersebut sama sekali. Akibatnya, mereka trauma dan keluarga protes karena polisi juga mengabaikan para orang tua korban yang mendatangi Polres Taneh Karo pada tanggal 4 Februari 2025 lalu.
“Ada panduan yang harus di perhatikan oleh para penyidik. Anak berhadapan hukum baik korban, saksi dan anak konflik hukum wajib dilindungi hak-haknya,” ungkap Dian kepada The Editor pada Sabtu (8/2/2025) sore.
Perhatian aparat yang paling mendasar yang harus disediakan oleh polisi dalam menangani kasus kejahatan seksual pada anak adalah perlakuan yang manusiawi dan bermartabat.
Perlakuan semacam itu harus disediakan tercantum dalam UU Perlindungan Anak Sistem dan UU Peradilan Pidana Anak.
Dengan kata lain, lanjut Dian, penyidik tidak diizinkan bertanya tentang hal-hal yang membuat korban teringat lagi akan penderitaan psikis yang pernah mereka lalui.
“Artinya adalah penyidik tidak boleh bertanya yang mengakibatkan anak kembali alami penderitaan psikis atau reviktimisasi,” ungkapnya.
KELUARGA DIIMBAU LAPORKAN PENYIDIK YANG TIDAK PEKA
Dian juga mengingatkan bila aparat kepolisian yang bertugas menangani kasus kejahatan seksual juga harus terlatih dan memiliki kepekaan terhadap anak-anak.
Terkait Polwan berinisial nama ZB yang diketahui bertindak kasar dan sengaja mengabaikan korban dan keluarga yang terkena kasus ini, Dian mengimbau untuk segera melaporkannya.
Karena pihak kepolisian wajib memberikan pendampingan hukum dan psikososial pada anak yang jadi korban kejahatan seksual.
Pendampingan yang dimaksud datang dari Dinas Perlindungan Anak setempat dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak dari pemerintah setempat.
“UU SPPA juga menekankan penyidik yang menangani anak harus terlatih SPPA atau memiliki kepekaan terhadap anak. Jika terdapat oknum penyidik yang demikian, keluarga atau pendamping patut melaporkan kepada atasan penyidik,” tegas Dian.
POLISI JUGA HARUS BERI BANTUAN SOSIAL
Dian mengatakan bila polisi juga wajib memberikan bantuan sosial bagi korban bila memang dibutuhkan.
Sebagaimana diketahui, korban bernama S dan keluarganya berasal dari keluarga miskin. Mereka diminta oleh pihak penyidik Polres Taneh Karo untuk datang sendiri ke rumah sakit Brimob yang ditunjuk oleh polisi untuk melakukan visum disana.
Korban dan keluarganya tidak pernah tahu letak dan lokasi rumah sakit tersebut. Polisi seperti tidak memiliki hati nurani karena tidak mau memfasilitasi keberangkatan korban dari kota Kabanjahe ke Kota Medan menuju rumah sakit yang dimaksud. Sementara itu, jarak dari Kabanjahe ke Medan sekitar 2 jam.
Polwan tersebut diketahui juga lebih sering membentak keluarga korban. Untuk tahu lebih lanjut tentang berita ini, baca di: Tanpa Pendamping dan Sempat Diancam Oleh Polwan, Anak-Anak dan Keluarga Korban Sodomi di Kabupaten Karo Trauma Usai Diinterogasi Polisi
KPAI SIAP DAMPINGI
Dian mengatakan KPAI siap mendampingi keluarga korban dalam kasus ini. Ia mendorong pemeriksaan kasus kekerasan seksual anak dirujuk pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) karena kasus semacam ini tidak bisa diselesaikan dengan sistem perdamaian.
“Kami di KPAI sangat mendorong pemeriksaan kasus kekerasaan seksual anak merujuk pada UU TPKS.
Tidak ada mekanisme penyelesaian kasus demikian dengan pelaku dewasa menggunakan mekanisme perdamaian. Hanya dapat diakukan dengan peradilan formal,” tandasnya.