20.7 C
Indonesia

Hiruk Pikuk Peresmian Bendungan Lausimeme oleh Presiden Jokowi Meninggalkan Duka Bagi Petani Yang Lahannya Dibayar Dengan Tak Pantas Oleh Pemerintah

Must read

THE EDITOR – Bendungan Lau Simeme di Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo meninggalkan duka tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di sekitar area waduk. Ratusan warga hingga saat ini belum mendapatkan uang ganti rugi yang seharusnya mereka peroleh sejak bendungan diresmikan pada 16 Oktober 2024 lalu. Tak hanya itu, persoalan lain juga muncul sepeninggal Presiden Jokowi karena ternyata lahan warga tak dihargai sebagaimana seharusnya.

Padahal, hiruk pikuk dan gegap gempita peresmian bendungan oleh Presiden Jokowi pada Rabu, 16 Oktober 2024 lalu seolah menjadi tonggak awal dimulainya kesejahteraan petani. Tapi, bagaimana fakta sebenarnya?

Untuk mengetahui hal ini, tim investigasi The Editor mendatangi lokasi bendungan yang berada sekitar 30 km dari pusat kota Medan pada Rabu (12/2/2025). Kondisi jalan yang baik dan mulus serta perkebunan buah-buahan seperti duku, durian, cokelat dan sawit yang rimbun membuat perjalanan terasa sangat menyenangkan.

Baca Juga:

Bila dilihat dari kontur jalan yang sedemikian baik, maka cukup mengherankan bila tanah warga hanya dihargai Rp15.000 per meter untuk sebuah program berstandar nasional seperti Bendungan Lau Simeme.

Harga tanah ini ditentukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Mutaqqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan Rekan (MBPRU) yang digandeng oleh BWS Sumatera II Medan, disisi lain, Pemerintah Daerah mengeluarkan daftar harga NJOP tanah warga lebih tinggi, yaitu Rp 20.000.

Setibanya dibendungan, redaksi langsung disambut oleh puluhan warga yang sudah 5 bulan tinggal di fasilitas umum (fasum) bendungan. Mereka memilih tinggal secara bergantian di depan kantor Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II Medan karena pemerintah tidak mendengarkan permintaan mereka.

Mereka adalah warga yang berasal dari 5 desa yang terkena dampak paling parah dari pembangunan bendungan ini. Secara bergantian, setiap hari, baik siang dan malam 7-10 warga ini berjaga di area tunggu, yang letaknya tak jauh dari mushola bendungan.

Mereka menyampaikan haknya dengan cara seperti ini karena sejak awal tahun 2024 permintaan akan keadilan untuk harga tanah perkebunan dan pertanian belum dijawab oleh pemerintah. Padahal, kelompok masyarakat yang tergabung dałam gerakan ‘Aksi Damai’ ini telah menemui sejumlah pejabat untuk menyampaikan keinginan mereka, seperti DPRD Kabupaten Deli Serdang, DPRD Provinsi Sumatera Utara, BWS Sumatera II Medan, kantor apraisal KJPP MBPRU, ATR BPN Kabupaten Deli Serdang, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam,  DPR RI di Senayan, KSP (Kantor Sekretariat Presiden) Jakarta, Mahkamah Agung, Kementerian PUPR, Kementerian Dałam Negeri hingga berdemo di depan Tugu Monas, Jakarta.

Para petani ini menaiki bus umum menuju Jakarta yang harus ditempuh selama 3 hari dan 2 malam.

“Karena pembayaran harga nominatif tanah belum berkeadilan. Kami sudah memperjuangkan atas harga tanah ini selama 5 tahun,” ungkap Nelson Meliala (49), warga Dusun 1 Kuala Dekah, Desa Kuala Dekah, Kecamatan Biru-Biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara kepada The Editor.

Hujan deras membanjiri fasilitas umum tempat warga dari 5 desa di Kecamatan Sibiru-Biru tinggal baik siang dan malam. Tempat ini tidak dilengkapi dengan dinding pembatas dan lantainya tidak dibuat terlalu tinggi sehingga saat hujan deras area ini langsung digenangi air (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)
Hujan deras membanjiri fasilitas umum tempat warga dari 5 desa di Kecamatan Sibiru-Biru tinggal baik siang dan malam. Tempat ini tidak dilengkapi dengan dinding pembatas dan lantainya tidak dibuat terlalu tinggi sehingga saat hujan deras area ini langsung digenangi air (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)

Saat ini, Nelson harus mengorbankan tanah perkebunan seluas 3,6 hektar untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) Presiden Jokowi tanpa mendapatkan ganti rugi yang sewajarnya.

Tanah Nelson Meliala hanya dihargai Rp25.000 per meter oleh pihak BWS Sumatera II Medan di Mei 2024 lalu. Angka ini diputuskan oleh KJPP MBPRU yang dicari oleh pihak BWS Sumatera II.

Padahal, sebelum tahun 2024 kemarin, Nelson Meliala mampu menghasilkan pendapatan dari 3,5 hektar perkebunan cokelat, duku, durian dan karetnya hingga Rp 60 juta per tahun. Pohon buah yang ditanam oleh Nelson Meliala memang tergolong masih mudah, tetapi, bila dibiarkan tetap tumbuh, Ia memprediksikan pendapatnnya akan mencapai Rp 250 juta per tahun. Jumlah ini terus bertambah seiring waktu masa usia pohon buah-buahan miliknya.

Sayangnya, pihak BWS Sumatera II Medan hanya mau membayar ganti rugi pohon buah-buahan miliknya seharga Rp 1,3 miliar saja. Sementara harga tanah perkebunannya hanya di angka Rp 25.000 per meter.

PETANI DIPAKSA HARUS MEMBERIKAN TANAHNYA UNTUK PEMERINTAH TANPA MUSYAWARAH DENGAN HARGA 15.000 PER METER

Kumpulan warga dari 5 desa di Kecamatan Sibiru-Biru ini tidur di fasilitas umum Bendungan Lausimeme pada Rabu (12/2/2025). Mereka membersihkan area fasilitas dari genangan akibat hujan deras sore tadi (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)
Kumpulan warga dari 5 desa di Kecamatan Sibiru-Biru ini tidur di fasilitas umum Bendungan Lausimeme pada Rabu (12/2/2025). Mereka membersihkan area fasilitas dari genangan akibat hujan deras sore tadi (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)

Nasib Nartum Sinuraya (55) bisa dikatakan lebih memprihatinkan lagi, tanah perkebunan miliknya seluas 2,5 hektar hanya dihargai Rp 15.000 per meter padahal sudah ditanami dengan pohon karet, pohon pinang, pohon durian dan pohon duku.

Bentuk tanah milik Nartum Sinuraya memang landai seperti kebanyakan pekebun buah-buahan di Kecamatan Sibiru-Biru. Namun, ia heran, mengapa tanah lain dengan kondisi sama dihargai dengan nilai berbeda oleh pihak BWS Sumatera II Medan.

“Beri harga yang berkeadilan itu karena dengan harga tanah yang murah ini maka saya akan menderita seumur hidup karena tidak mampu membeli tanah lain,” kata Nartum Sinuraya.

Lain lagi cerita dari Darwan Barus (54), pria asal, Dusun II Kuala Uruk, Desa Kuala Dekah, Kecamatan Sibiru-Biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Darwan Barus yang mewarisi tanah dari ibunya kini harus menghadapi kepedihan karena tanah seluas 6000 meter juga dibayar Rp 15.000 per meter saja demi proyek PSN Presiden Jokowi tersebut.

Dulu, Darwan Barus dan keluarganya mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp 200 juta per tahun untuk satu musim. 

“Sementara untuk panen bisa 2 musim panen. Harga tanah mamak saya sudah kosong, bentuknya datar, dari awal pun datar. Bikinlah keadilan dan kemerataan masalah harga ini karena nggak sesuai dengan tetangga yang diterima,” katanya.

Kata Darwan, ada perbedaan harga yang tidak masuk akal antara satu petani dengan petani lainnya untuk proyek PSN ini. Karena tanahnya yang berada di pinggir jalan Desa Kuala Dekah juga diberi harga yang sama, yakni Rp 15.000 per meter, sementara tanah lain ada yang dihargai Rp 300.000 per meter padahal kondisinya miring alias tidak rata.

“Ada yang sebelah saya 25.000 per meter, ada juga 300.000 per meter. Saya diminta ke pengadilan untuk menuntut hak ini (harga tanah)  tapi ongkos bolak-balik ke Pengadilan Lubuk Pakam saja nggak cukup,” ungkapnya dengan sedih.

WARGA DIPAKSA UNTUK MEMBERIKAN PERKEBUNAN MEREKA DEMI PSN PRESIDEN JOKOWI

Rasib Sembiring, Ketua Aksi Damai Bendungan Lau Simemei tengah berada di area situs budaya Desa Kuala Uruk, Kecamatan Sibiru-Biru, Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia pada Rabu, 12 Februari 2025 (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)
Rasib Sembiring, Ketua Aksi Damai Bendungan Lau Simemei tengah berada di area situs budaya Desa Kuala Uruk, Kecamatan Sibiru-Biru, Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia pada Rabu, 12 Februari 2025 (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)

The Editor juga mendapat fakta yang cukup mencengangkan karena tanah adat yang dimiliki oleh raja-raja di sepanjang bantara bendungan ini tiba-tiba berubah fungsi menjadi Hutan Produksi.

Perubahan status tanah masyarakat menjadi hutan produksi ini juga cukup mengundang tanya karena informasi semacam itu diberikan oleh pegawai pemerintah dan BUMD yang menyewa tanah milik rakyat tanpa batas.

Tanah yang disewa oleh oknum tersebut kini berdiri Bendungan Lau Simeme yang dilengkapi dengan fasilitas umum, kantor BWS Sumatera II Medan, Mushola dan tempat wisata lengkap dengan 3 unit landasan helikopter. 

Sampai berita ini diturunkan, redaksi terus mencoba mengontak salah satu pemilik lahan yang pernah menyewakan tanahnya dengan kontrak multiyears kepada oknum pemerintah tersebut.

TANAH MASYARAKAT DIUBAH JADI HUTAN PRODUKSI OLEH MENTERI KEHUTANAN MS KABAN TANPA SEPENGETAHUAN WARGA

Menteri Kehutanan era Susilo Bambang Yudhoyono bernama MS Kaban mengubah status tanah milik Kerajaan Karo secara sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat melalui Surat Keputusan (SK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 579/Menhut/2014 Tentang Penetapan Kawasan Hutan Produksi.

Media setempat, Aktual Online merilis informasi tentang status tanah warga pada Sabtu (23/3/2024) yang menyebutkan bila di tahun 1924 Kecamatan Biru-Biru pernah menjadi salah satu area perkebunan tembakau yang dioperasikan oleh Belanda bernama Senembah Maatsschappij.

Tanah yang dipakai Belanda tersebut merupakan tanah konsesi (hak pinjam pakai). Data ini didukung kuat oleh Prasetiyo dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara yang menerbitkan disertasi berjudul Strategi Komunikasi Organisasi Arih Ersada Dalam Meningkatkan Solidaritas Masyarakat Terdampak.

spot_img

More Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -

Artikel Baru